FARMAKOTERAPI
ANTIBIOTIK PROFILAKSIS
1. DEFINISI
Antibiotik profilaksis adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama atau
setelah diagnosa, terapi atau prosedur operasi untuk mencegah komplikasi
infeksi (SIGN, 2014).
Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan:
- Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO)
- Penurunan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi.
- Penghambatan muncul flora normal resisten.
- Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2011)
Sekitar 1 juta pasien
menderita infeksi luka setiap tahun di Amerika Serikat. Infeksi luka
menyebabkan perpanjangan rawat inap di rumah sakit rata-rata 1 minggu dan
kenaikan biaya rumah sakit sebesar 20 % (Holzheimer, 2001).
Berdasarkan statistik National Center for Health, sekitar 46 juta prosedur bedah telah di lakukan di Amerika serikat, yang mana sebagian
besar di lakukan dirawat jalan yang menyebabkan infeksi. Infeksi umumnya adalah
komplikasi paling umum dari pembedahan. Infeksi luka operasi (SSIS) terjadi
sekitar 3% sampai 6% pada pasien serta memperpanjang biaya waktu rawat inap yaitu sekitar 7 hari pertahun sebesar $5 sampai $10 miliar. SSIS berada pada urutan ketiga
(14%-16%) yang paling sering menyebabkan infeksi nosokomial di rumah sakit, dan merupakan penyebab utama (40%) kejadian infeksi nosokomial pada pasien bedah. Pemberian
antibiotik propilaksis menurunkan resiko infeksi setelah prosedur operasi dan
merupakan komponen penting untuk perawatan pasien bedah (Dipiro, 2008).
3.
PRINSIP PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK
PROFILAKSIS
Menurut Munckhof (2005) dan Menkes RI (2011) prinsip penggunaan antibiotik profilaksis
bedah yaitu:
- Putuskan apakah penggunaan antibiotik profilaksis diperlukan.
- Identifikasi jenis bakteri yang sering menyebabkan infeksi setelah operasi.
- Pilih antibiotik yang aktif melawan bakteri patogen-patogen luka bedah dengan spektrum antibiotik yang tersempit.
- Antibiotik yang lebih baru dengan spektrum luas sebaiknya digunakan hanya untuk terapi infeksi yang resisten.
- Pilih obat yang termurah jika terdapat 2 obat yang mempunyai spektrum antibiotik, efikasi, toksisitas dan kemudahan pemberian yang sama.
- Antibiotik dengan toksisitas rendah.
- Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
- Konsentrasi antibiotik harus lebih besar dari konsentrasi hambat minimal patogen-patogen yang dicurigai, dan konsentrasi ini harus dicapai pada saat pengirisan.
- Berikan dosis pada waktu yang sesuai.
- Berikan antibiotik untuk periode yang pendek (dosis tunggal jika operasi kurang dari atau sama dengan 4 jam) menggunakan antibiotik yang efektif dan paling aman.
- Jangan gunakan antibiotik profilaksis untuk mengatasi teknik operasi yang buruk.
- Evaluasi protokol antibiotik profilaksis secara regular baik dari sisi biaya maupun pola resistensi antibiotik di rumah sakit.
A. Antibiotik profilaksis non-pembedahan
Profilaksis non-pembedahan meliputi pemberian antibiotik untuk mencegah kolonisasi atau infeksi asimptomatis. Profilaksis non-pembedahan juga meliputi pemberian obat setelah kolonisasi oleh atau inokulasi patogen-patogen tetapi sebelum penyakit berkembang. Profilaksis ini diindikasikan pada individu-individu
yang beresiko tinggi dengan patogen-patogen yang virulen terpilih dan pada pasien-pasien
yang mengalami peningkatan resiko untuk timbul infeksi karena penyakit
yang mendasarinya (misalnya inang
yang inkompromis). Profilaksis
paling efektif ketika ditujukan melawan organisme-organisme yang diduga rentan terhadap
agen-agen antibiotika (Katzung, 2004).
B. Antibiotik profilaksis
pembedahan
Pemilihan antibiotik profilaksis bedah dipengaruhi oleh jenis prosedur bedah,
mikroorganisme patogen yang paling mungkin ada dan menginfeksi,
keamanan dan keefektifan antibiotik, catatan keberhasilan, Biaya serta pola kepekaan
patogen nosokromial pada institusi terkait spesifik.
5.
INFEKSI LUKA OPERASI
Surgical site infection
(SSI) atau infeksi pada tempat operasi merupakan salah satu komplikasi utama
operasi yang dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit.
Surgical Site Infection
(SSI) adalah keadaan terinfeksinya tempat operasi, yang ditentukan berdasarkan
kriteria The Center for Desease Control (CDC) yang
direvisi tahun 1992 atau disimpulkan dari pengamatan pasca operasi di bangsal
atau di poliklinik (Yuwono,
2013).
Faktor resiko
terjadinya SSI antara lain sifat operasi
(derajat kontaminasi operasi), nilai ASA (American Society of
Anesthesiologists), komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah
lekosit dan lama operasi.
Tabel. Jenis Patogen pada pasien dengan SSI
Bakteri
|
N
|
%
|
Escherichia Coli
|
5
|
31,25
|
Staphylococcus aureus
|
3
|
18,75
|
Pseudomonas
aeruginosa
|
2
|
12,50
|
Streptococcus
faecalis
|
2
|
12,50
|
Citrobacter freundii
|
1
|
6,25
|
Klebsiella pneumonia
|
1
|
6,25
|
Streptococus bovis
|
1
|
6,25
|
Candida nonalbicans
|
1
|
6,25
|
Total
|
16
|
100
|
(Yuwono, 2013)
Klasifikasi Infeksi Luka Operasi
a. Infeksi luka operasi superfisial
Infeksi luka operasi yang terjadi dalam jangka waktu
30 hari pasca operasi
yang meliputi kulit atau jaringan subkutan di atas fasia, disertai: a) adanya purulent
dengan atau tanpa hasil laboratorium dari luka permukaan, b) kuman dapat diisolasi dari kultur cairan atau jaringan dari luka permukaan,
c) terdapat paling sedikit satu dari tanda-tanda infeksi: sakit atau perih,
bengkak, kemerahan, atau rasa panas dan luka sengaja dibuka oleh dokter, kecuali kultur negatif atau d) dokter yang menangani menyatakan infeksi.
b. Infeksi luka operasi dalam/profunda
Yaitu infeksi luka operasi yang terjadi seteah 30 hari-1 tahun pasca operasi
(bila ada implant) dan infeksi melibatkan jaringan lunak bagian dalam (fasia dan otot)
disertai: a) adanya purulent dari luka dalam tetapi tidak dari
organ, b) dehisensi luka atau luka dibuka oleh dokter karena ada tanda-tanda infeksi: suhu> 380C, rasa
sakit, atau perih kecuali kultur
negatif, c) abses atau tanda infeksi lain yang melibatkan luka dalam atau d) dokter yang menangani menyatakan infeksi.
c. Infeksi luka operasi organ/rongga
Yaitu infeksi luka operasi yang terjadi setelah 30 hari-1 tahun pasca operasi
(bila ada implant) dan infeksi melibatkan beberapa anatomi
(organ), disertai: a) adanya purulent dari drain luka dalam tetapi tidak dari
organ, b) kuman dapat diisolasi dari kultur cairan atau jaringan dari organ, c) abses atau tanda infeksi lain yang melibatkan
organ/rongga atau d) dokter
yang menangani menyatakan infeksi (SIGN 2014, Meakins
2008).
American
Society of Anesthesiologists (ASA) membuat skor resiko preparasi untuk mengidentifikasi resiko infeksi luka operasi berdasarkan adanya komorbiditas pada waktu operasi. Skor ASA > 2 menunjukkan meningkatnya resiko infeksi luka operasi. Adanya 2 faktor resiko
komorbiditas (skor ASA > 2) dan lamanya operasi dapat digunakan untuk menghitung
indeks resiko (SIGN, 2014). Klasifikasi status fisik pasien menurut ASA yaitu:
Skor ASA
|
Status Fisik
|
1
|
Pasien normal dan sehat
|
2
|
Pasien dengan kelainan sistemik ringan
|
3
|
Pasien dengan kelainan sistemik berat, aktivitas
terbatas
|
4
|
Pasien dengan kelainan sistemik berat yang sedang
menjalani pengobatan untuk bertahan hidup
|
5
|
Pasien dengan keadaan yang sangat jelek, diperkirakan
bisa bertahan sekitar 24 jam dengan atau tanpa operasi
|
Kemungkinan infeksi luka operasi berdasarkan jenis operasi dan indeks resiko
Jenis operasi
|
Indeks resiko
|
||
0
|
1
|
2
|
|
Tidak terdapat faktor resiko (%)
|
Terdapat 1
faktor resiko (%)
|
terdapat
2 faktor
resiko (%)
|
|
Bersih
|
1,0
|
2,3
|
5,4
|
Bersih-terkontaminasi
|
2,1
|
4,0
|
9,5
|
Terkontaminasi
|
3,4
|
6,8
|
13,2
|
6. KLASIFIKASI LUKA OPERASI BERDASARKAN DERAJAT KONTAMINASI LUKA OPERASINYA
Kelas/angka infeksi
|
Definisi
|
Antibiotik profilaksis
|
Bersih (Kelas I) < 2%
|
Operasi yang
dilakukan pada daerah dengan kondisi prabedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus
(respiratorius, gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau
penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup
|
Kelas operasi
bersih terencana umumnya tidak memerlukan antibiotik profilaksis kecuali pada
beberapa jenis operasi, misalnya mata, jantung, dan sendi
|
Bersih terkontaminasi (Kelas II) 5-10%
|
Operasi yang
dilakukan pada traktus (digestivus, bilier, urinarius, respiratorius, reproduksi
kecuali ovarium) atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata.
|
Pemberian antibiotika
profilaksis pada kelas operasi bersih kontaminasi perlu dipertimbangkan manfaat
dan risikonya karena bukti ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis
belum ditemukan
|
Kontaminasi (Kelas III) > 20%
|
Operasi yang
membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran kemih, saluran napas sampai orofaring,
saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross
Spillage)
|
Kelas operasi
kontaminasi memerlukan antibiotik terapi (bukan profilaksis)
|
Operasi kotor (kelas IV) 40%
|
Adalah operasi
pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau saluran napas yang terinfeksi
ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat
pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat
jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor
|
Kelas operasi kotor memerlukan antibiotik terapi
|
(Dipiro, (2008)
dan Fry, (2003))
7.
PEMILIHAN ANTIBIOTIK
Pilihan antibiotik profilaksis tergantung pada jenis prosedur pembedahan, patogen yang paling sering ditemui dalam prosedur pembedahan,
profil keamanan dan efikasi dari agen antimikroba,
literatur pendukung penggunaan antibiotik profilaksis, dan biaya. Meskipun kebanyakan SSIs (surgical-site
infections) melibatkan flora normal pasien, pemilihan antimikroba juga harus memperhitungkan pola kerentanan nosokomial patogen dalam setiap institusi. Biasanya,
Antibiotik gram positif harus dimasukkan dalam pilihan profilaksis bedah karena organisme seperti
S. aureus dan S.
epidermidis umumnya ditemui dalam
flora kulit. Keputusan untuk memperluas antibiotik profilaksis untuk agen dengan spektrum
gram negative dan anaerobik tergantung pada surgical-site (misalnya,
saluran pernapasan atas saluran, saluran pencernaan, saluran urogenital) dan apakah operasi akan terdapat membrane mukosa kental yang mungkin berisi flora (Dipiro, 2008).
Menurut Theurapeutic Guidelines AHSP
(2013); idealnya, agen antimikroba untuk profilaksis bedah harus dapat: (1) mencegah SSI, (2) mencegah morbiditas SSI terkait dan kematian,
(3) mengurangi durasi dan biaya perawatan kesehatan
(4) tidak menghasilkan efek samping,
dan (5) tidak memiliki konsekuensi yang merugikan bagi flora mikroba pasien atau
rumah sakit. Untuk mencapai tujuan tersebut,
agen antimikroba harus (1) aktif terhadap patogen
yang paling mungkin mencemari site
of surgery, (2) diberikan dalam dosis dan waktu yang
sesuai sehingga menjamin konsentrasi serum
dan jaringan selama periode kontaminasi potensial,(3) aman, dan (4) diberikan untuk periode
yang efektif terpendek untuk meminimalkan efek samping,
pengembangan resistensi, dan biaya.
Meskipun profilaksis antimikroba dapat diberikan melalui berbagai rute (misalnya, lisan, topikal,
intramuskular), rute parenteral lebih disukai karena konsentrasi jaringan yang adekuat dapat tercapai. Sefalosporin umumnya diresepkan untuk profilaksis bedah karena merupakan spektrum antimikroba yang luas, profil farmakokinetik yang menguntungkan,
insiden efek samping rendah, dan biaya rendah. Generasi pertama sefalosporin, seperti cefazolin adalah pilihan yang lebih disukai untuk bedah profilaksis (Dipiro, 2008). Bagi kebanyakan prosedur, cefazolin adalah obat pilihan untuk profilaksis karena merupakan agen antimikroba yang paling banyak dipelajari, dengan khasiat yang terbukti. Memiliki durasi
yang diinginkan tindakan,
spectrum aktivitas terhadap organisme yang biasa ditemui dalam operasi, keamanan yang baik, dan biaya rendah (Anonim, 2013).
Bila agen spektrum gram negatif dan anaerobik diharapkan, maka sefalosporin antianaerob, seperti cefoxitin dan cefotetan, merupakan pilihan yang tepat. Meskipun sefalosporin generasi ketiga
(misalnya, ceftriaxone) telah dianjurkan untuk profilaksis karena peningkatan spektrum gram-negatif dan waktu paruh yang lebih panjang, namun aktivitas gram positif dan aktivitas anaerobik yang rendah sehingga penggunaan agen ini kurang meluas. Reaksi alergi adalah efek samping yang paling umum yang terkait dengan penggunaan sefalosporin. Reaksi dapat terjadi di kulit, manifestasi di lokasi infuse seperti ruam, pruritus, dan anafilaksis (<0,02%). Kesamaan structural antara penisilin dan sefalosporin (masing-masing berisi cincin
β-laktam) telah menyebabkan kebingungan tentang cross-alergenisitas antara dua kelas obat. Vancomycin menjadi aternatif cefazolin dapat institusi
dengan tingkat kejadian MRSA yang tinggi atau untuk pasien yang alergi β laktam (Dipiro, 2008).
8.
ANTIBIOTIK PROFILAKSIS BERDASARKAN JENIS OPERASINYA
Jenis-jenis pemilihan antibiotic berdasarkan jenis operasinya
Jenis Pembedahan
|
Patogen Penginfeksi
|
Regimen
profilaksis Yang direkomendasikan
|
Keterangan
|
1.
Pembedahan
Gastrointestinal
|
|||
a.
Gastroduodenal
b.
Saluran Empedu
c.
Transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
d.
Appendectomy
e.
Colorectal
f.
Endoskopi
Gastrointestinal
|
Gram Negatif
Bacillus Enterik
Gram positif Cocus
Enteric, Anaerob oral
|
Ceftazolin 1 g x 1
|
Hanya untuk pasien yang berisikotinggi (penyumbatan, perdarahan, maglinasi, terapi penekan asam, obesitas)
|
Gram Negatif bacillus Enterik, bakterianaerob
|
Cefazolin 1 g x 1 untukpasien yang beresiko tinggi
|
Hanya untuk pasien yang beresiko tinggi (kolesitisakut, batu pada saluran,
pernah operasi saluran empedu, jaundice, umur> 60 th, obesitas
diabetes mellitus
|
|
Gram Negatif bacillus Enterik, bakteri anaerob
|
Ceftriaxone 1 g x 1
|
Long-acting sefalosporin lebih disukai
|
|
Gram Negatif bacillus Enterik, bakterianaerob
|
Cefoxitin atau Cefotetan 1g x 1
|
Dosis intraoperative kedua cefoxitin mungkin disyaratkan apabila prosedur berlangsung lebih dari
3 jam
|
|
Gram Negatif bacillus Enterik, bakterianaerob
|
PO : Neomicyn 1
g + erytromisin base 1 g pada jam 13:00, 14:00 dan 23:00 1 hari sebelum operasi
plus persiapan mekanisme
bowel
IV : Cefoxitin atau cefotetan 1g x 1
|
Manfaat atas penggunaan oral yang ditambahkan intravena masih controversial kecuali untuk colostomy reversal dan reseksi rectal
|
|
Variabel tergantung pada prosedur tapi biasanya
gram-negatif basilus enterik, gram positive cocci, anaerobes oral
|
PO : Amoxicilin 2g x 1
IV : Ampicilin 2 g x 1 atau seftazolin 1g x 1
|
Hanya direkomendasikan pada pasien
yang beresiko tinggi. Menjalani prosedur yang rawan.
|
|
2.
Pembedahan urologic
|
|||
a.
Reseksi Prostat, Reseksi kemih, cystoscopy
|
Escherichia
coli
|
Cefazolin 1 g x 1
|
Umumnya tidak dianjurkan untuk pasien dengan kultururin
preoperative steril
|
3.
PembedahanGynecological
|
|||
a.
Operasi Caesar
b.
Histerectomi
|
Gram Negatif basillus enteric,
anaerob streptococcus group B, enterococcus
|
Sefazolin 2g x 1
|
Dapat di berikan sebelum awal sayatan atau setelah luka oprasi tertutup
|
Gram negative basillus enteric, anaerob, streptococcus
group B, enterococcus.
|
Vaginal : sefazolin 1g x 1
Abdominal : sefotetan 1 g x 1 atausefazolin 1g x 1
|
Antibiotic profilaksis tidak boleh lebih dari
24 jam.
|
|
4.
Pembedahan kepala dan leher
|
|||
a.
Pembedahan
Maxillofacial
b.
Reseksi kanker pada kepala dan leher
|
Staphylococcisaureus, streptococci oral
anaerob
|
Cefazollin 2 g atau clindamisin 600 mg,
|
Ulang dosis
intraoperative untuk pembedahan
yang berlangsung lebih dari 4 jam
|
Staphylococcisaureus, streptococci oral
anaerob
|
Clindamycin 600 mg pada saat induksi dan setiap
8 jam, 2 kali
|
Tambahkan gentamisin untuk proses bersih kontaminasi
|
|
5.
Pembedahan
Cardiothoracic
|
|||
a.
Pembedahan jantung
b.
Pembedahan toraks
|
Staphylococcisaureus, Staphylococcus epidermidis,
Corynebacterium
|
Cefazolin
1g setiap 8 jam x 48 jam
|
Pasien >80
kg harus menerima 2 g
cafazolin, pada prevalensi tinggi kejadian resistensi Staphilococcusaureus, vancomisin dapat dipertimbangkan
|
S. aureus, S. epidermidis,
Corynebacterium, enteric
gram-negative bacilli
|
Cefuroxime
750 mg IV setiap 8 jam x 48 jam
|
Generasi pertama sefalosporin inadequate dan durasi pendek dari profilaksis tidak menunjukan efek yang adekuat.
|
|
6.
Pembedahan Vaskular
|
|||
a.
Pembedahan Abdominal aorta and lower extremity vascular
|
S. aureus, S. epidermidis, enteric
gram-negative bacilli
|
Cefazolin
1 g pada saat induksi dan setiap
8 jam x 2 dosis lebih
|
Meskipun komplikasi dari infeksi mungkin jarang terjadi, pemindahan infeksi berhubungan dengan kejadian morbiditas yang signifikan
|
7.
Pembedahan Ortopedi
|
|||
b.
Pembedahan tulang
c.
Perbaikan tulang pinggul yang retak
|
S. aureus, S. epidermidis
|
Cefazolin
1 g x 1sebelum operasi,
Kemudian setiap 8 jam x 2 dosis
|
Vankomisin dapat digunakan untuk pasien
yang alergi terhadap penisilin.
|
S. aureus, S. epidermidis
|
Cefazolin
1 g x 1 sebelum operasi,
Kemudian setiap 8 jam x 48 jam
|
Penggabungan frakur di obati jika di perkirakan ada infeksi
|
|
8.
Pembedahan otak
|
|||
a.
Prosedur pengalihan cairan serebrospinal
b.
Crainotomy
c.
Pembedahan
sum-sum tulang
|
S. aureus, S. epidermidis
|
Cefazolin
1 g setiap 8 jam x3 dosis atau
ceftriaxone 2 g x 1
|
Tidak ada obat lain yang menunjukan efek yang lebih baik di bandingkan cefazolin melalui penelitian
RCT
|
S. aureus, S. epidermidis
|
Cefazolin
1 g x 1 atau cefotaxime
1
g x 1
|
Trimethoprim–sulfamethoxazole
(160/800mg)
IV
x 1 dapat di subtitusi untuk pasien yang alergi penicillin.
|
|
S. aureus, S. epidermidis
|
Cefazolin
1 g x 1
|
Penelitian terhadap Perbandingan terhadap dengan agen antibiotic yang lain terbatas.
|
9.
JADWAL PEMBERIAN ANTIBIOTIK
Untuk kasus bedah,
profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai
infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.
Antibiotik profilaksis digunakan untuk membantu mencegah infeksi. Jika seorang
ibu dicurigai atau didiagnosis menderita suatu infeksi, pengobatan dengan
antibiotik merupakan jalan yang tepat. Pemberian antibiotik profilaksis 30
menit sebelum memulai suatu tindakan, jika memungkinkan, akan membuat kadar
antibiotik dalam darah yang cukup pada saat dilakukan tindakan.
Dalam operasi bedah
sesar, antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan sewaktu tali pusat dijepit
setelah bayi dilahirkan. Satu kali dosis pemberian antibiotik profilaksis sudah
mencukupi dan tidak kurang efektif jika dibanding dengan tiga dosis atau
pemberian antibiotik selama 24 jam dalam mencegah infeksi (Saifudin, 2008).
Dilihat dari waktu saat
pemberian antibiotik profilaksis pada umumnya 30 – 60 menit sebelum operasi,
secara praktis umumnya diberikan pada saat induksi anestesi. Pada bedah sesar,
untuk menghindari masuknya antibiotik pada janin, antibiotik dapat diberikan
segera setelah penjepitan tali pusat (Saifudin, 2008). Lama penggunaan
antibiotik yang digunakan untuk keperluan profilaksis pada umumnya memiliki
waktu paruh yang pendek ( 1- 2 jam). Oleh karena itu, pemakaian antibiotik
harus diulang apabila operasi telah berlangsung 1 jam atau lebih. Namun, pada
penelitian lain didapatkan slow clearance antibiotik pada saat operasi.
Sefuroksim yang memiliki waktu paruh 1 – 2 jam, dapat bertahan sampai 2 – 4 jam
sehingga dengan pemberian tunggal tampaknya konsentrasi antibiotik dalam
jaringan masih tetap terpelihara (Saifudin, 2008).
Kombinasi 1 g neomycin dan 1 g erythromycin base diberikan oral pada 19, 18, dan 9 jam sebelum
operasi adalah
regimen oral yang paling umum digunakan di AS. Selama
24 jam pertama, infeksi tergantung pada jumlah koloni bakteri yang ada. Pada
dua jam pertama mekanisme pertahanan tubuh bekerja untuk menurunkan jumlah
bakteri. Empat jam berikutnya, jumlah bakteri konstan karena terjadi
keseimbangan antara bakteri yang bermultiplikasi dan bakteri yang dibunuh oleh
sistem pertahanan tubuh. Enam jam pertama ini disebut sebagai periode emas (Golden Period), setelah itu bakteri
bermultiplikasi secara eksponen. Antibiotik
menurunkan pertumbuhan bakteri secara geometrik dan menunda reproduksi bakteri.
Profilaksis antibiotik diberikan untuk memperlama
`Golden Period’ .
Pedoman untuk Memilih
Antibiotik Profilaksis
Obat-obatan profilaksis
harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh
patogen. Untuk sebagian besar tindakan, sefalosporin generasi pertama atau
kedua yang tidak mahal, seperti sefazolin, mempunyai half-life yang cukup panjang dan aktif terhadap stafilokoki dan
streptokoki, efektif apabila diberikan secara intravena (IV) 30 menit sebelum
pembedahan. Kecuali pada apendektomi, di mana sefoksitin (Mefoxin) atau
sefotetan (Cefotan) lebih baik karena lebih aktif dari pada sefazolin terhadap
organisme anaerobik dalam usus.
Antibiotik profilaksis diberikan dalam
dosis yang menunjukkan konsentrasi efektif sebelum kontaminasi bakteri
intraoperatif. Pemberian yang dianjurkan adalah 30-45 menit sebelum insisi
kulit (biasanya bersamaan dengan induksi anestesia).
10. RESISTENSI ANTIBIOTIK
Resistensi antibiotik
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia. Ketika seseorang
terinfeksi bakteri yang resisten antibiotik, pengobatannya menjadi lebih sulit
dan harus menggunakan obat yang lebih kuat dan lebih mahal dengan lebih banyak
efek samping. Contoh bakteri yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik
termasuk spesies yang menyebabkan infeksi kulit, meningitis, penyakit menular
seksual, tuberkulosis, dan infeksi saluran pernapasan seperti pneumonia.
Resistensi antibiotik adalah kondisi ketika suatu strain bakteri dalam tubuh manusia menjadi resisten (kebal) terhadap antibiotik. Resistensi ini berkembang secara alami melalui mutasi evolusi acak dan juga bisa direkayasa oleh pemakaian obat antibiotik yang tidak tepat. Setelah gen resisten dihasilkan, bakteri kemudian dapat mentransfer informasi genetik secara horisontal (antar individu) dengan pertukaran plasmid. Mereka kemudian akan mewariskan sifat itu kepada keturunannya, yang akan menjadi generasi resisten. Bakteri bisa memiliki beberapa gen resistensi, sehingga disebut bakteri multiresisten atau “superbug”.
Sifat resistensi
antibiotik pada dasarnya ditentukan oleh genom mikroba. Resistensi mikroba
terhadap antibiotika dapat berupa resistensi intrinsik atau acquired
resistance. Resistensi intrinsik adalah resistensi secara natural yang dimiliki
oleh suatu jenis mikroba dan biasanya ditentukan oleh gen kromosom. Selain itu,
acquired resistance terjadi pada sel sebelumnya pada keadaan rentan, diikuti
dengan perubahan ke genom yang ada atau melalui transfer informasi genetik
antar sel. Kemudian, informasi tersebut diteruskan kepada sel anak pada saat
pembelahan sel, yang menyebabkan sel berikutnya menjadi kebal berkat informasi
yang diberikan pada saat pembelahan.
Secara ringkasnya
resistensi dapat dijabarkan menjadi dua, yaitu sifat mikroba dari awal sudah
resisten dan mikroba yang pada awalnya peka, kemudian menjadi tidak peka
terhadap antibiotik yang bersangkutan. Alasan kenapa pada saat kita meminum
antibiotik harus dihabiskan semua adalah untuk mencegah adanya mikroba yang
tersisa, dengan kata lain mikroba belum habis tuntas bila penggunaan antibiotik
dihentikan dihentikan secara tiba-tiba, hal ini menyebabkan mikroba secara alamiah memberikan informasi
kepada sel anak (sel berikutnya) pada pembelahan agar memiliki pertahanan dalam
menghadapi antibiotik yang hampir membuat mikroba tersebut mati.
Macam-Macam
Resistensi Bakteri
Terhadap Antibiotik
·
Resistensi
terhadap penisilin dan sefalosporin
Resistensin bakteri
terhadap penisilin dapat timbul akibat adanya mutasi yang menyebabkan
dihasilkannya produksi pengikat penisilin yang berbeda atau akibat bakteri
memerlukan gen-gen protein pengiakt penisilin yang baru. Resistensi terhadap penisilin
juga dapat muncul akibat bakteri memiliki sistem transfor membran luar (outer
membrane) yang terbatas, yang mencegah penisilin mencapai membran sitoplasma
(lokasi protein pengikat penisilin). Hal ini dapat terjadi akibat adanya mutasi
yang mengubah porin yang etrlibat dalam transport melewati membrane luar. Hal
lain yang memungkinkan terjadinya resistensi bakteri terhadap penisilin dan
sefalosporin adalah apabila bakteri memiliki kemampuan untuk memproduksi
β-laktamase, yang akan menghidrolisis ikatan pada cincin β-laktam molekul
penisilin dan mengakibatkan inaktivasi antimikroba.
Resistensi
mikroorganisme pathogen terhadap penisilin dan sefalosporin paling sering
terjadi akibat bakteri memiliki gen pengkode β-laktamase. Terdapat 3 kelas
besar β-laktamase, yaitu penisilinase, oksasilinase, dan karbenisilinase.
Penisilinase memiliki kisaran aktivitas yang luas terhadap penisilin dan
selafosporin , sedangkan oksasilinase dan karbenisilinase memiliki aktivitas yang lebih terbatas.
Pada bakteri enteric (bakteri
fakultatif anaerob gram negative yang terdapat dalam intestinal manusia),
β-laktamase dihasilkan dalam konsentrasi rendah dan terikat pada membrane luar.
Enzim ini mencegah antimikroba β-laktan untuk mencapai tapak target pada
membrane sitoplasma dengan cara merusaknya saat antimikroba tersebut melewati
membrane luar dan lapisan periplasma (periplasma space). Gen yang mengkode
β-laktamase terdapat pada kromosom bakteri, pada bebrapa strain bakteri juga
terdapat pada plasmid dan transposon. Sebagian besar bakteri resisten
penisilinjuga memilki gen β-laktamase pada plasmid terutama plasmid R dan
tranposon. Gen β-laktamase yang paling banyak terdapat secara luas adalah TEM-1
yang terdapat pada transposon Tn4.
Staphylococci
resisten-metisilin terjadi akibat produksi protein alami pengikat penisilin PBP
2a atau 2’ yang memiliki afinitas rendah pada pengikatan metisilin. Sifat
resistensi dikode oleh gen kromosom bakteri (mecA) yang tidak ditemukan pada
semua strain Staphylococcus aureus sensitive-metisilin. Gen ini nampaknya
terbatas pada Staphylococci, namun gen lain pada Streptococci juga mengkode PBP
yang memiliki afinitas rendah terhadap metisilin dan antimikroba β-laktam
lainnya.
·
Resistensi
Terhadap Vankomisin
Resistensi vankomisin
berkembang akibat adanya enzim pada sel bakteri yyang resisten, yang akan
membuang residu alanin dari bagian peptida peptidoglikan. Vankomisin tidak
dapat terikat pada peptide yang berubah, namun peptide yang berubah tersebut
dapat tetap berfungsi dalam formasi ikatan silang selama sintesis
peptidoglikan, sehingga bakteri resisten vankomisin tetap dapat membuat dinding
sel fungsional.
·
Resisten
Terhadap Tetrasiklin
Resistensi bakteri
terhadap tetrasiklin dapat muncul bila dihasilkan membran sitoplasma yang
berbeda (bentuk perubahan) dan mencegah pengikatan tetrasiklin pada subunit 30S
ribosom, sehingga sintesis protein dapat terus berlangsung. Mekanisme
resistensi tetrasiklin lainnya adalah resistensi pompa eflux, didasarkan atas
transpor tetrasiklin keluar sel secara cepat, sehingga mencegah akumulasi
tetrasiklin pada dosis toksik, sehungga sintesis protein bakteri tidak
terhambat. Hal ini terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang menyebabkan
protein eflux tetrasiklin.
Secara normal, pada
saat tetrasiklin berdifusi melewati membran sitoplasma bakteri, tetrasiklin
akan dikonversi dalam bentuk ionik. Hal ini membuat tetrasiklin tidak lagi
dapat berdifusi melewati membran sehingga menyebabkan akumulasi tetrasiklin di
dalam sel, yang akhirnya dapat menghambat sintesis protein bakteri dan
menyebabkan kematian sel bakteri.
Protein eflux
tetrasiklin adalah protein membran sitoplasma yang mentranspor bentuk
nondifusible tetrasiklin keluar sitoplasma. Pada sel bakteri yang resisten,
tetrasiklin dikeluarkan dari sitoplasma secepat difusinya kedalam sel, sehingga
mencegah akumulasi tetrasiklin yang dapat menghambat sintesis protein.
·
Resistensi
Terhadap Aminoglikosida
Resistensi terhadap
antibiotik golongan aminoglikosida muncul karena sel bakteri memproduksi
enzim-enzim yang dapat menambah fosfat, asetat, atau gugus adenil pada berbagai
macam tempat pada antibiotik aminoglikosida. Antibiotik aminoglikosida yang
telah dimodifikasi tersebut nantinya tidak akan mampu terikat pada subunit 30S
ribosom sehingga tidak lagi dapat menghambat sintesis protein.
Pada dasarnya, satu
macam enzim yang telah digunakan untuk memodifikasi aminoglikosida tidak akan
mampu memodifikasi aminoglikosida yang lain. Hal ini mencegah penambahan mutasi
yang akan meningkatkan kisara modifikasi aminoglikosida oleh enzim pemodifikasi
aminoglikosida. Sebagai contoh, tapak ikatan yang dimodifikasi oleh suatu
muatan resisten-sreptomisin mengubah suatu asam amino pada protein S12 pada
subunit 30S ribosom bakteri. Turunan semisintetik dari aminoglikosida
selanjutnya didesain untuk resisten terhadap enzim pemodifikasi aminoglikosida
tersebut. Amikasin adalah salah satu aminoglikosida semisintetik yang sangat
resisten terhadap modifikasi oleh enzim sehingga banyak bakteri sensitif
terhadap antibiotik ini.
Resistensi aminoglikosida
juga muncul atas dasar penurunan aktivitas transpor antimikroba ke dalam sel
bakteri. Aminoglikosida tidak ditranspor kedalam sel oleh spesies bakteri
Bacteroides, sehingga Bacteroides resisten terhadap antimikroba ini.
Escherichia coli juga lebih resisten terhadap aminoglikosida dalam kondisi
anaerob seperti pada saluran pencernaan manusia.
·
Resistensi
Terhadap Kloramfenikol
Resistensi
kloramfenikol mayoritas disebabkan oleh adanya enzim yang menambahkan gugus
asetil kedalam antibiotik. Kloramfenikol yang terasetilasi tidak akan dapat
terikat pada submit 50S ribosom bakteri, sehingga tidak mampu menghambat
sinetsis protein.
Mayoritas bakteri yag
resistensi terhadap kloramfenikol memiliki plasmid dengan sebuah gen yang
mengkode kloramfenikol astiltransferase. Enzim ini menginaktivasi kloramfenikol
yang telah melewati membran plasma dan memasuki sel. Kloramfenikol
asetiltransfase diproduksi secara terus menerus oleh mayoritas Gram negatif,
namun pada Staphylococcus aureus, sintesis enzim ini diinduksi oleh
kloramfenikol.
·
Resistensi
Terhadap Makrolida
Eritromisin dan
antibiotik golongan makrolida yang lain terikat pada subunit 50S ribosom
bakteri dan mengeblok sintesis potein. Pada beberapa kasus, resistensi terhadap
antibiotik makrolida terjadi akiat mutasi pada target antibiotik. Mekanisme
utama resistensi makrolida adalah didasarkan atas enzim RNA metilase yang
menambahkan gugus metil kedalam gugus adenin spesifik pada subunit 50S rRNA.
Antibiotik makrolida termasuk eriromisin tidak akn terikat pad rRNA yang
termetilasi.
Pada Escherchia coli
dan beberapa strain bakteri resisten-eritromisin lainnya, terdapat perubahan
pada gen pengkode protein L4 atau L12 eritromisin pada subunit 50S ribosom
bakteri, mengakibatkan penurunan afinitas eritromisin terhadap ribosom. Pada
Staphylococcus aureus, resistensi eritromisin akibat dimetilasi residu adenin
pada rRNA 23S.
·
Resistensi
Terhadap Fluorokuinolon
Antibiotik golongan
fluorokkuinolon seperti halnya siprofloksasin dan norfloksasin terikat pada
subunit β enzim DNA girase, dan mengeblok aktivitas enzim yang essensial dalam
menjaga supercoling DNA dan penting dalam proses replikasi DNA. Mutasi pda gen
pengkode DNA girase menyebabkan diproduksinya enzim yang aktif namun tidak
dapat diikat oleg fluorokuinolon.
·
Resistensi
Terhadap Rifampisin
Rifampisin (rifampin)
terikat pada subunit β-RNA polimerase bakteri dan menghambat fungsi enzim ini
dalam transkripsi mRNA. Rifampisin memiliki afinitas terhadap RNA polimerase
bakteri yang lebih tinggi dibandingkan terhadap RNApolimerase mamalia, sehingga
rifampisin dapat mengeblok transkripsi mRNA dan sintesis protein pada sel
manusia. Resistensi terhadap rifampisi muncul akibat mutasi pada gen subunit
RNA polimerase. RNA polimerase yang berubah akibat mutasi tersebut berfungsi
secara normal, namun tidak dapat dihambat oleh rifampisin.
·
Resitensi
Terhadap Sulfonamid dan
Trimetoprim
Sulfa drug (sulfonamid)
dan trimetropin meghambat reaksi yang berbeda pada jalur metabolisme yang
memproduksi asam tetrahidrofolat (tetrahydrofolic -acid), yang merupakan
kofaktor esensial dalam sintesis asam nukleat. Resistensi terhadap sulfonamid
dan trimetoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim yang terlibat
dalam jalur metabolisme sintesis asam tetrahidrofolat. Enzim berubah berfungsi
secara normal namun tidak dihambat oleh sulfanaid dan trimetoprim.
11. INTERVENSI
NON-PHARMACOLOGIC
1.
Menggunakan teknik aseptik
(
ruangan, personel, pasien, instrumen bedah )
2.
Mempertahankan keadaan normothermia pada periode intraoperatif
Pasien
yang mendapatkan anestesi sistemik selama operasi, temperatur tubuhnya bisa
turun 1°C - 1,5°C. Hipotermia
selama operasi terjadi berkaitan dengan fungsi kekebalan tubuh terganggu,
penurunan aliran darah ke
jaringan, penurunan tekanan oksigen jaringan, dan peningkatan
risiko SSI. Upaya untuk mempertahankan normothermia intraoperatif harus dilakukan, bisa menggunakan
selimut penghangat dan
penghangat cairan intravena untuk mempertahankan suhu tubuh di atas 36°C (97°F).
Salah satu percobaan prospektif dari 200 pasien yang menjalani bedah kolorektal menemukan bahwa
pemeliharaan normothermia dapat menurangi tingkat infeksi pasca operasi bersama
dengan parameter morbiditas lainnya, termasuk
length of stay.
3.
Pemberian oksigen tambahan pada periode
perioperatif
Tekanan
oksigen yang rendah dalam jaringan meningkatkan risiko kolonisasi bakteri dan
SSI dengan mengurangi efisiensi aktivitas neutrofil. administrasi oksigen
konsentrasi tinggi (80% melalui ventilator atau 12 L / min melalui masker
oksigen) mengurangi tingkat infeksi pasca operasi secara signifikan dalam uji coba multicenter acak dari 500
pasien yang menjalani bedah
kolorektal.
4.
Kontrol glukosa perioperatif agresif
Diabetes
dan kontrol glukosa yang buruk merupakan faktor risiko untuk SSI. Peningkatan risiko infeksi dianggap
karena kedua komplikasi makrovaskular (vaskulopati dan penyakit venooklusif)
dan mikrovaskuler (kekurangan imunologi
halus, termasuk neutrofil disfungsi
dan penurunan complement dan
aktivitas antibodi). Kontrol agresif kadar glukosa darah pada perioperatif menurunkan kejadian SSI pada penderita
diabetes yang menjalani operasi jantung dan sedang dievaluasi pada jenis
operasi lain dan pasien nondiabetes.
12. EVALUASI TERAPI
Ketika mengevaluasi hasil
terapi antibiotika profilaksis bedah, penting untuk membedakan adanya potensi SSI dari infeksi pasca
operasi lain atau komplikasi. Meskipun demam
dan leukositosis biasa
terjadi pada periode pasca operasi segera, biasanya mengatasi dengan ambulation tepat, penghapusan
tepat waktu dari alat
invasif, pencegahan dan / atau resolusi atelektasis
melalui perawatan pernapasan yang
optimal dan analgesik yang efektif. Itu Penting untuk mengingat bahwa
munculnya infeksi distal, seperti pneumonia, bukan merupakan kegagalan profilaksis bedah. Profilaksis harus sesingkat mungkin karena lama rejimen profilaksis mungkin berkontribusi pada pemilihan organisme resisten dan membuat infeksi lebih sulit untuk diobati.
munculnya infeksi distal, seperti pneumonia, bukan merupakan kegagalan profilaksis bedah. Profilaksis harus sesingkat mungkin karena lama rejimen profilaksis mungkin berkontribusi pada pemilihan organisme resisten dan membuat infeksi lebih sulit untuk diobati.
Sisi pembedahan yang terlihat
merupakan penentu paling penting adanya infeksi. Drainase nanah
dari sayatan disertai dengan kemerahan, hangat dan rasa sakit atau nyeri
sangat sugestif dari
SSI. Menurut definisi, setiap sisi pembedahan yang membutuhkan
sayatan dan drainase oleh ahli bedah dipertimbangkan infeksi tanpa
terlihat. Kegagalan untuk menyembuhkan luka juga dilihat
biasanya dengan SSIs,
meskipun teknik pembedahan
dan status gizi mungkin faktor kontribusi penting.
Tanda dan gejala yang konsisten
dengan SSI berkaitan
dengan operasi sebelumnya yang
merupakan pertimbangan penting ketika mengevaluasi
hasil terapi setelah profilaksis pembedahan. Banyak
SSIs tidak akan terlihat
selama rawat inap. Bahkan SSIs tidak mungkin
menjadi jelas hingga 30 hari kemudian atau, dalam
kasus implantasi prostesis, hingga
1 tahun kemudian. Dengan demikian,
kejadian sebenarnya dari SSIs dapat
ditentukan hanya dengan
melengkapi komprehensif pengawasan setelah penghentian. Semua studi meneliti efikasi
profilaksis pembedahan harus termasuk follow up setelah penghentian yang cukup
agar dapat benar-benar
menilai keberhasilan setiap rejimen profilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013, Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery,
Theurapeutic Guidelines of AmericanSociety of Health-System Pharmacists.
Dipiro,
J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Edition, McGrawHill, USA.
Fry
D.E., 2003, Surgical Site
Infetion: Pathogenesis and Prevention, Medscape, http://www.medscape.com
Katzung,
B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, SalembA Medika, Jakarta, 196-199.
Menkes RI, 2011, Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/Menkes/Per/XII/2011, Kemenkes RI
Munckhof
W., 2005, Antibiotic For Surgical
Prophylaxis, Austraian
Prescriber
Vol
28 Number
2, Austraia
Meakins, J.L.,
2008, Prevention of Postoperative
Infection, ACS Surgery: Principles and Practice, Basic Surgical and
PerioperatifConsicerations.
SIGN, 2000, Antibiotic Prophylaxis in Surgery A National
Clinical Guideline, Scottish Intercollegiate Guidelines Network, Royal
College of Physicians, Edinburgh.
Yuwono, 2013, Pengaruh Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian Surgical Site Infection (SSI) Pada Pasien Laparotomi Emergensi. JMJ, Vol.1, Nomor 1,
Mei 2013, Hal: 16 - 25