Sabtu, 29 Oktober 2016

Gagal jantung dan algoritma pengobatannya

1. DEFINISI GAGAL JANTUNG

Gagal jantung didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung untuk memberikan oksigen pada tingkat yang setara dengan kebutuhan metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal (atau dengan peningkatan tekanan pengisian) ( Murray, 2012).
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul karena gangguan jantung struktural atau fungsional yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi atau mengeluarkan darah. Penyakit arteri koroner, hipertensi, dilatasi kardiomiopati, genetik, valvular heart disease dan hampir semua bentuk penyakit jantung pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung (Jessup, 2009).

2. PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG
Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan akibat disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung diastolik sering terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Ketika ventrikel harus memompa secara berkelanjutan melawan kelebihan beban yang sangat tinggi (peningkatan resistensi), sel otot hipertrofi dan menjadi kaku. Kekakuan sel otot menyebabkan penurunan daya regang ventrikel, shingga menurunkan pengisian ventrikel, kelainan relakasasi diastolik dan penurunan volume sekuncup. Volume diastolik-akhir pada ventrikel kiri mengalami peningkatan dan memantul kembali ke sirkulasi paru, menyebabkan hipertensi paru. Karena volume sekuncup dan akibatnya tekanan darah turun, refleks baroresptor teraktivasi.
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. Kerusakan otot sehingga tidak mampu berkontraksi secara penuh, Dan sekali lagi, volume sekuncup turun. Penurunan volume sekuncup menyebabkan penurunantekanan darah, yang segera diikuti dengan inisiasi respon refleks menyesuaikan untuk mengembalikan ke kondisi sebelumnya. Karena ventrikel yang rusak tidak mampu mengembalikan volume sekuncup, refleks tetap berlanjut. Terutama, stimulasi reseptor beta 1 jantung menjadi kronis. Penelitian menyantakan bahwa pengaktifan respon simpatis yang kronis pada akhirnya menurunkan kadar kalsium di dalam dan pelepasan kalsium dari, retikulum sarkoplasmik sel-sel miokard. Penurunan kalsium otot jantung menyebabkan eksitasi-kontraksi ganda, akibatnya produksi kekuatan oto jantung menghilang, disaritmia dan akhirnya terjadi disfungsi kontraktil serta perubahan bentuk sel otot jantung.
Dengan semakin memburuknya proses penyakit gagal jantung juga mempengaruhi peningkatan progresif volume diastolik akhir pada peregangan sel otot jantung melebihi panjang optimumnya, akibatnya tegangan yang dihasilkan menjadi berkurang karena ventrikel teregang olehdarah. Gagal jantung menjadi lingkaran setan yang tidak berkesudahan: semakin terisi berlebihan pada ventrikel semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi darah dan peregangan serabut otot bertambah. Akibatnya volume sekuncup, curah jantung dan tekanan darah turun. Respon-respon refleks tubuh yang mulai bekerja sebagai jawaban terhadap penurunan tekanan darah akan secara bermakna memperburuk situasi.  (Corwin,2009)
A. Myocardial systolic dysfunction
Abnormalitas utama terjadinya HF yaitu adanya gangguan fungsi ventricular kiri yang menyebabkan turunnya kardiak output. Penurunan kardiak output menyebabkan terganggunya aktivasi beberapa neurohormonal yang berfungsi meningkatkan mekanisme kerja jantung. Misalkan aktivasi sistem simpatetik akan meningkatkan kardiak output sehingga berimbas pada peningkatan detak jantung, kontraktilitas otot jantung, dan vasokonstriksi perifer (Jackson, Gibbs, Davies, and Lip, 2000).

B. Neurohormonal activation
Chronic heart failure (CHF) berasosiasi dengan aktivasi neurohormonal dan perubahan control otomatis. Meskipun penurunan mekanisme neurohormonal dapat mempengaruhi hasil positif bagi jantung, perubahan neurohormonal juga memiliki peran fundamental dalam perkembangan HF.
a. Renin angiotensin aldosterone system
Stimulasi renin-angiotensi-aldosterone-system (RAAS) menyebabkan peningkatan konsetrasi renin, plasma angiotensin II, dan aldosterone. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang poten pada renal dan sirkulasi sistemik yang menstimulasi lepasnya noradrenalin dari nerve terminal simpatetik, menginhibisi vagal tone, dan pelepasan aldosterone. Proses ini menjadikan retensi sodium dan air dan peningkatan ekskresi potassium. Angiotensin II memiliki efek penting pada myocytes cardiac dan mengkontribusi disfungsi endothelial yang nantinya terobservasi dalam HF.


i. Angiotensin II
Angiotensin II merupakan neurohormon utama yang berperan dalam patofisiologi gagal jantung. Efek vasokonstriksi angiotensin II menyebabkan peningkatam resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah. Di ginjal, angiotensin II meningkatkan fungsi ginjal dengan meningkatkan tekanan intraglomerular melalui konstriksi arteriol efferent. Peningkatan tekanan filtrasi glomerular diimbangi dengan penurunan perfusi renal akibat dari pengaruh angiotensin II yang melepaskan neurohormon vasoaktif seperti vasopressin dan endotelin 1 (ET-1). Angiotensin II juga merangsang pelepasan aldosteron dari kelenjar adrenal dan norepinefrin dari saraf adrenergik. Angiotensin II menginduksi hipertrofi vaskuler dan pembentukan kembali sel-sel pada jantung dan renal. Studi klinis menunjukkan bahwa pemblokan RAAS pada gagal jatung berkaitan dengan peningkatan fungsi jantung. Oleh karena itu, inhibitor ACE dan ARBs merupakan dasar pengobatan gagal jantung (Chisholm-Burns, Wells, Schwinghammer, Malone, Kolesar, Rotschafer, et al., 2008).

ii. Aldosteron
Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air sehingga meningkatkan volume intravaskuler dan kardiak output. Aldosteron juga berkontribusi dalam abnormalitas elektrolit yang terlihat pada pasien gagal jantung. Hipokalemia dan hipomagnesemia berkontribusi pada peningkatan risiko aritmia. Suatu bukti menunjukkan fungsi aldosteron sebagai faktor etiologi fibrosis miokardial. Peningkatan konsentrasi aldosteron berkaitan dengan penyakit jantung yang lebih parah dan prognosis gagal jantung. Antagonis aldosteron merupakan target terapi pada perkembangan prognosis jangka panjang (Chisholm-Burns, et al., 2008).

iii. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan suatu penanda aktivasi sistem saraf simpatis. Norepinefrin berperan dalam menstimulasi denyut jantung dan kontraktilitas miokardial untuk memperbesar kardiak output dan vasokontriksi. Aktivasi saraf simpatis meningkatkan risiko aritmia, iskemia dan kematian sel miosit melalui beban kerja miokardial dan apotosis (kematian sel yang terprogram). Ventrikuler hipertrofi dan pembentukan kembali dipengaruhi oleh norepinefrin. Konsentrasi plasma ventrikuler ditingkatkan seiring dengan keparahan gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008).
Efek merugikan dari aktivasi sistem saraf simpatis diperlihatkan pada uji klinis dengan β agonis, fosfodiesterase inhibitor dan obat-obatan yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis. Sebaliknya, β-agonis, ACE inhibitor, dan digoksin menurunkan aktivasi sistem saraf simpatis melalui beberapa mekanisme dan berperan dalam gagal jantung (Dipiro, et al., 2008).

iv. Endotelin
Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor yang paling poten. Endotelin-1 berikatan dengan reseptor 2 G-protein yaitu endotelin A dan endotelin B. Reseptor endotelin A berperan dalam vasokonstriksi. Reseptor endotelin B diekspresikan pada endothelium dan otot polos vaskuler, dan stimulasi reseptor menyebabkan vasodilatasi (Chisholm-Burns, et al., 2008).

v. Vasopressin arginin
Konsentrasi vasopressin yang lebih tinggi berkaitan dengan dilusi hiponatremia dan prognosis gagal jantung. Reseptor vasopressin ada 2 tipe yaitu reseptor vasopressin tipe 1a dan tipe 2. Stimulasi vasopressin tipe 1a akan menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan vasopressin tipe 2 menyebabkan retensi bebas air melalui kanal aquaporin dan oksigen miokardial pada gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008).

vi. Counterregulatory hormone (peptide natriuretik, bradikinin dan nitrat oksida)
Atrial natriuetic peptide (ANP) dan B-type natriuetic peptide (BNP) merupakan neurohormon yang berperan dalam keseimbangan natrium dan air. Peptida natriuetik menurunkan reabsorpsi natrium pada duktus kolektivus dan menyebabkan vasodilatasi melalui jalur siklik guanosin monofosfat. ANP disintesis dan disimpan pada atrium, sedangkan BNP diproduksi di ventrikel. Pelepasan ANP dan BNP distimulasi oleh peningkatan kelenturan dinding jantung yang biasanya mengindikasikan volume load. Konsentrasi peptida natriuetik yang tinggi berkorelasi dengan klasifikasi gagal jantung yang lebih parah. BNP sensitif terhadap status volume, sehingga konsentrasi plasma dapat digunakan sebagai penanda diagnosis gagal jantung (Chisholm-Burns, et al., 2008).
Bradikinin merupakan bagian dari sistem kallikrein-kini yang berkaitan dengan RAAS melalui ACE. Bradikinin merupakan peptida vasodilator yang dilepaskan pada respon stimulus termasuk neurohormonal dan mediator inflamasi. Nitrat oksida merupakan hormon vasodilator yang dilepaskan oleh endothelium. Nitrat oksida memberikan 2 manfaat utama pada gagal jantung yaitu vasodilatasi dan antagonis endotelin. Produksi nitrat oksidan dipengaruhi oleh enzim inducible nitric oxide synthetase (iNOS), yang menyebabkan peningkatan jumlah angiotensin II, norepinefrin dan sitokin. Pada gagal jantung, respon fisiologis nitrat oksida berkontribusi pada kketidakseimbangan vasokonstriksi dan vasodilatasi (Chisholm-Burns, et al., 2008).
b. Symphathetic Nervous System
Sympathetic nervous system akan teraktivasi pada HF, via tekanan baroreseptor tinggi dan rendah, karena mekanisme kompensatori awal akan meningkatkan inotropic dan mengatur kardiak output. Aktivasi simpatetik kronik memiliki efek deleterious, menyebab penurunan fungsi kardiak.
Peningkatan aktivitas simpatetik pada saat awal telah terdeteksi oleh jantung dan menyababkan peningkatan outflow simpatetik ke otot skeletal dan ginjal yang terlihat pada gagal jantung parah. Stimulai simpatetik mengktivasi RAAS dan neurohormon yang lain, meningkatkan tonus vena dan arterial, dan preload dan afterload yang lebih besar, meningkatkan konsentrasi noradrenaline plasma, terjadinya retensi garam dan air, serta timbulnya edema. Aktivitas simpatetik yang berlebihan juga berasosiasi dengan apoptosis sel jantung, hypertrophy, dan nekrosis miokardial fokal (Jackson, Gibbs, Davies, and Lip, 2000).
Pada kejadian jangka panjang, aktivitas miokardium untuk merespon tingginya konsentrasi katekolamin akan menurun dengan adanya down regulation reseptor β. Abnormalitas fungsi baroreseptor terjadi dalam CHF, bersamaan dengan penurunan tonus parasimpatetik, menyebabkan abnormal autonomic modulasi nodus sinus. Selebihnya terjadi penurunan variabilitas detak jantung sebagai hasil dari dominasi simpatetik dan pengurangan modulasi vagal dari sinus node (Jackson, Gibbs, Davies, and Lip, 2000).

c. Natriuretic Peptides
Terdapat tidak natriuretic peptides, memiliki struktur yang hanpir sama, dan mempunyai efek luas pada jantung, ginjal, maupun sistem saraf pusat. Atrial natriuretic peptide (ANP) dilepaskan dari atria sebagai respon untuk peregangan, menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada manusia, brain natriuretic peptide (BNP) juga dilepaskan dari jantung, secara dominan dari ventrikel, dan mekanisme aksinya hampir samadengan ANP. C-type natriuretic memiliki peran terbatas pada vascular endhothelium dan sistem saraf pusat, hanya berefek pada natruresis dan vasodilatasi (Jackson, Gibbs, Davies, and Lip, 2000).
Atrial dan brain natriuretic peptides meningkat sebagai respon dari ekspansi volume dan tekanan overload jantung dan beraksi sebagai antagonis fisiologi akibat adanya efek angiotensin II pada tonus vascular, sekresi aldosterone, dan reabsorbsi natrium tubulus renal. Karena natriuretic memiliki peran penting sebagai mediator dengan meningkatkan konsentrasi di dalam sirkulasi darah pada pasien HF sehingga dapat dijadikan sebagai penanda diagnosis maupun prognosis (Jackson, Gibbs, Davies, and Lip, 2000).

C. LV Remodelling sebagai penyebab progresi penyakit HF
Berbagai penelitian membuktikan bahwa remodeling LV secara langsung berelasi dengan penurunan performance LV. Meskipun beberapa investigasi masih menunjukkan LV remodeling seperti halnya end-organ respon yang terjadi setelah bertahun-tahun akibat efek perusakan long-term stimulasi neurohormonal. Perubahan-perubahan yang terjadi selama prosel LV remodeling mengkontribusi semakin parahnya HF. Secara prinsip perubahan yang terjadi aintaranya tekanan dinding LV meningkat selama terjadinya remodeling. Diketahui bahwa ventrikel yang mengalami remodeling tidak hanya menyebabkan pembesaran hati tetapi juga memiliki bentuk yang lebih sperikal. Peningkatan ukuran LV dan perubahan geometri LV dari elips lebih ke sferikal menyebabkan mekanisme de novo, diantaranya meningkatkan LV end-diastolic wall stress.
Insofar sebagai mekanisme load pada ventrikel saat end-diastole berkontribusi penting ketika afterload menyebabkan ventrikel mengalami onset sistolik. Dilatasi LV meningkatkan kerja ventrikel dan penggunaan oksigen. Peningkatan LV end-diastolic volume, dinding LV akan mengalami penipisan ketika terjadi remodeling. Peningkatan kejadian wall thinning selama masa peningkatan afterload karena LV dilatasi menyebabkan fungsional ‘afterload mismatch’ yang nantinya mempengaruhi kardiak output. High-end diastolic wall stress menyebabkan hipoperfusi episodik dari subendokardium, menghasilkan fungsi LV yang semakin menurun dan peningkatan stress oksidatif yang menjadikan adanya aktivasi gen-gen sensitive terhadap free radical generation (Mann and Brostow, 2005).

3. FAKTOR RISIKO GAGAL JANTUNG

  • Hipertensi yang tidak terkontrol
  • Aliran darah koroner yang tidak cukup
  • Infeksi
  • Perubahan frekuensi denyut dan irama
  • Pemakaian natrium berlebihan
  • Penghentian penggunaan Preparat digitalis
  • Kehamilan dan persalinan
  • Perdarahan dan anemia
  • Emboli paru
  • Transfusi darah atau cairan infuse yang mengandung Natrium
  • Beban fisik dan emosional
  • Panas dan kelembaban lingkungan
4. KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA dan klasifikasi fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA) memberikan informasi yang berguna dan saling melengkapi tentang kehadiran dan tingkat keparahan gagal jantung. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA menekankan pada pengembangan dan perkembangan penyakit dan dapat digunakan untuk menggambarkan individu dan populasi, sedangkan klasifikasi NYHA fokus pada kapasitas latihan dan gejala status penyakit.

Stage berdasar ACCF/AHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
A
High risk HF tetapi tanpa adanya perubahan struktur atau gejala HF
-

B
Terdapat perubahan struktural tetapi tanpa tanda dan gejala.
I
Tidak terdapat batasan saat melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa/rutin tidak menyebabkan gejala HF timbul.
C
Terdapat perubahan struktural jantung dengan gejala HF terjadi sebelumnya.
I
Tidak terdapat batasan saat melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa/rutin tidak menyebabkan gejala HF timbul.


II
Terdapat sedikit batasan saat melakukan aktifitas fisik. Aktivitas fisik rutin menyebabkan timbulnya gejala HF.


III
Marked limitation ketika melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik rutin menyebabkan timbulnya gejala HF.


IV
Ketidakmampuan melakukan aktifitas fisik tanpa terjadi gejala HF, terjadi gejala HF dalam kondisi istirahat.
D
Refractory HF dan membutuhkan intervensi.
IV
Ketidakmampuan melakukan aktifitas fisik tanpa terjadi gejala HF, terjadi gejala HF dalam kondisi istirahat.
ACCF, American College of Cardiology Foundation; AHA, American Heart Association; HF, heart failure; and NYHA, New York Heart Association (Yancy, et al., 2013)

5. ALGORITME GAGAL JANTUNG


Tujuan terapi dalam pengelolaan gagal jantung kronis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, meringankan atau mengurangi gejala pada pasien. mencegah atau meminimalisir perawatan dirumah sakit untuk keparahan gagal jantung, memperlambat perkembangan penyakit dan memperpanjang kelangsungan hidup .Meskipun tujuan tersebut adalah penting , identifikasi terhadap faktor resiko bagi perkembangan dan kemungkinan terjadinya gagal jantung perlu di tingkatkan untuk mencegah perkembangan penyakit ini. (Dipiro, 2008)

Pengobatan Untuk Stage A
Untuk Pasien Stage A yang tidak memiliki structural atau gejala penyakit gagal jantung tetapi memiliki resiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung dikarenakan adanya factor resiko. Dalam hal ini di tekankan untuk identifikasi dan modifikasi terhadap factor resiko untuk mencegah berkembang menjadi penyakit jantung ataupun gagal jantung. Di mana factor resiko yang temasuk dalam hal ini adalah hipertensi , diabetes , obesitas , sindrom metabolik , merokok , dan penyakit arteri koroner . Kontrol secara efektif terhadap tekanan darah dapat mengurangi resiko berkembangnya penyakit gagal jantung sekitar 50 persen, oleh karena itu saat ini manajemen pengotan hipertensi harus di ikuti. Kontrol terhadap kadar glukosa pada pasien diabetes mengurangi resiko kerusakan organ dan resiko terhadap gagal jantung,selain itu perlu juga untuk mengobati kadar kolesterol dan menghidari rokok. Meskipun perawatan harus individual, ace inhibitor atau arbs harus sangat dipertimbangkan untuk antihipertensi terapi pada pasien dengan beberapa faktor risiko vaskular.Diuretik dan beta blocker juga mungkin dapat di gunakan (Dipiro, 2008).
Pengobatan Untuk Stage B
Pasien di tahap B memiliki struktural penyakit jantung , namun tidak mempunyai gejala gagal jantung. Kelompok ini termasuk pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, infark miokard, penyakit katup, atau LVEF yang berkurang (kurang dari 40 %). Individu-individu ini yang berisiko berkembang menjadi gagal jantung dan pengobatan ditargetkan meminimalkan tambahan cedera dan mencegah atau memperlambat proses perkembangan gagal jantung. Dalam hal pengobatan memngikuti pengobatan yang telah di jabarkan pada stage A dimanaace inhibitor dan Beta Bloker adalah komponen penting dalam terapinya. Pasien yang sebelumnya mengalami Infark miokard harus menerima ace inhibitor dan Beta bloker, terlepas dari nilai LVEF. Demikian juga, pasien dengan berkurangnya LVEF juga harus menerima kedua agen ini , dengan atau tanpa infark miokard. ARB adalah alternatif yang efektif pada pasien yang tidak toleran untuk ACE inhibitor (Dipiro, 2008).

Rekomendasi treatment Stage B (ACCF/AHA, 2013)
Pengobatan Untuk Stage C
Pasien dengan penyakit jantung dan sebelumnya atau sedang mengalami gejala penyakit gagal jantung merupakan tahap C. Di samping perawatan medis secara bertahap Stage A dan B, sebagian besar pasien di tahap C harus secara rutin di terapi dengan 3 pengobatan yaitu dengan obat diuretik, ace inhibitor, dan Beta blocker. Keuntungan penggunaan obat-obatan ini yaitu untuk memperlambat perkembangan penyakit gagal jantung, mengurangi morbiditas dan kematian, dan untuk meredakan peningkatan gejalanya. Reseptor aldosteron antagonis, ARB, digoxin, dan hydralazine-isosorbide dinitrate juga bermanfaat untuk pasien. (Dipiro, 2008)

Pengobatan Stage D
Pasien gagal Jantung Stage D sulit di sembuhkan meskipun dengan pengobatan yang maksimal. Pasien ini termasuk pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit yang berulang atau yang tidak dapat keluar dari rumah sakit tanpa intervensi khusus. Pasien pada stage ini merupakan tahap terparah pada penyakit gagal jantung dan harus dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi khusus termasuk dukungan mekanis peredaran darah, terapi intravena inotropic positif secara berkelanjutan, transplantasi jantung, atau perawatan khusus dirumah sakit.

Alogaritma Pengobatan Gagal Jantung Stage A-D

6. TATA LAKSANA GAGAL JANTUNG
A, TUJUAN TERAPI

  1. Menghilangkan / mengurangi gejala
  2. Memperlambat progres penyakit
  3. Menurunkan frekuensi rawat inap
  4. Menurunkan mortalitas
  5. Memperbaiki kualitas hidup
B. FARMAKOLOGI
Terapi gagal jantung berdasarkan ACC/AHA guideline

  1. Stage A : ACEI atau ARB
  2. Stage B : ACEI atau ARB dan β-blocker
  3. Stage C : ACEI dan β-blocker, Apabila terdapat edema  tambahkan diuretic (furosemide, bumetamide atau torsemide) Apabila tidak ada perbaikan dari gejalanya  kombinasi ARA + ARB + Digoxin + hidralazine/ISDN
  4. Stage D : Pasien harus diberikan intervensi yang special karena pada stage ini, pasien harus atau tidak dapat meninggalkan rumah sakit. Terapi yang diberikan adalah continuous intravenous positive inotropic therapy, cardiac transplantation, atau hospice care.

Terapi Acute Decompensated Heart Failure:

  1. Subset I : Cardiac index normal (2,8-4,2 L/min/m2) dan PAOP normal (< 12 mmHg). Terapi yang dilakukan adalah memaksimalkan terapi oral dan monitoring.
  2. Subset II : Memiliki cardiac index normal (2,8-4,2 L/min/m2) dan PAOP > 18 mmHg. Terapi yang digunakan adalah IV loop diuretic + nitrogliserin atau nesiritide.
  3. Subset III ; Memiliki cardiac indec < 2,2 L/min/m2 dan PAOP > 15 mmHg. Terapi yang digunakan adalah dobutamine atau milrione IV dan atau vasodilator arteri misalnya nitroprusside atau nitroglycerin.
  4. Subset IV : Memiliki cardiac indec < 2,2 L/min/m2 dan PAOP > 18 mmHg, Terapi yang digunakan diuretic + inotropik positif (nitroprusside)

C. NON FARMAKOLOGI
1. Batasi asupan garam dan air
2. Batasi makanan tinggi lemak
3. Turunkan BB
4. Aktivitas fisik ringan
5. Posisi setengah duduk saat tidur

Dapus :
Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi V. Depkes RI. Jakarta.
Anonim. 2008/2009. MIMS edisi 8. Depkes RI. Jakarta.
Dipiro, et all. Pharmacotherapy Handbook. Sixth editional. Appleton. Appleton andLange. New York
Tjay dan Rahardja. 2002. Obat-obat Penting, edisi V. Elexmedia Komputindo. Jakarta
Murray , John J.V., et al., 2012, ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012, European Heart Journal, 33, The European Society of Cardiology.
Jessup, Mariell, 2009, Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults : A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines: Developed in Collaboration With the International Society for Heart and Lung Transplantation, Circulation The Journal of The American Heart Association, The American Heart Association.
Corwin, EJ, 2009, Buku Saku Patofisiologi, Ed.3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Jackson, G., Gibbs, C. R., Davies, M. K., and Lip, G. Y. H., 2000, ABC of Heart Failure Pathophysiology, BMJ, 320, 167-170.
Mann, D. L. and Bristow, M. R., 2005, Mechanisms and Models in Heart failure The Biomechanical Model and Beyond,  Circulation, 111, 2837-2849.
Chisholm-Burns, M.A.,Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M.,  Rotschafer, J.C. et al., 2008, Pharmacotherapy Principles & Practice, Mc Graw Hills Medical, pp. 37