LAPORAN
PEMBELAJARAN KLINIK
CONGESTIVE
HEART FAILURE, SUSP SLE DAN ASITES EDEMA
PENDAHULUAN
Saat ini Congestive Hearth Failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal
jantung kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler yang terus
meningkat insiden dan prevalensinya. Risiko kematian akibat gagal jantung
berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat
menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, gagal jantung merupakan
penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit
(readmission) meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal
(R. Miftah Suryadipraja).
CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh
(Ebbersole, Hess, 1998). Risiko CHF akan meningkat pada orang lanjut usia (lansia)
karena penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik
apabila disertai dengan penyakit-penyakit seperti: hipertensi, penyakit katub
jantung, kardiomiopati, dan lain-lain. CHF juga dapat menjadi kondisi akut dan
berkembang secara tiba-tiba pada miokard infark. CHF merupakan penyebab
tersering lansia dirawat di rumah sakit (Miller,1997). Sekitar 3000 penduduk
Amerika menderita CHF. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia 50 tahun,
Insiden ini akan terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50
tahun (Aronow et al,1998). Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang
dididiagnosis CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Ebbersole, Hess,1998).
A. Definisi
Ada beberapa pengertian CHF menurut beberapa ahli:
1.
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah sindroma
yang terjadi bila jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolic dan oksigenasi jantung. (Carpenito, 1999)
2.
Pengertian gagal jantung secara umum adalah
suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung
gagalmemompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel
kiri. (Ilmu penyakit dalam. 1996 h, 975)
3. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah
ketidakmampuan jantung memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan oksigen dan nutrisi. (Smeltzer & Bare Vol 2, hal 805 th 2001)
A. Etiologi
Penyebab CHF ada beberapa factor yang sering terjadi
pada penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas
pada jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung
meliputi:
1.
Penyakit arterosklerosis koroner yang
mengakibatkan disfungsi pada miokardium karena terganggunya aliran darah pada
otot jantung.
2.
Hipertensi sistemik/ pulmonal yang mengakibatkan
meningkatnya beban kerja jantung yang akhirnya mengakibatkan hipertropi serabut
otot jantung.
3.
Peradangan dan penyakitMiokardium degenaratif
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara tidak langsung
merusak serabut otot jantung dan menyebabkan kontraksi menurun.
4.
Penyakit jantung lain, yang sebenarnya tidak ada
secara langsung mempengaruhi jantung, mekanisme yang terlibat mencakup gangguan
aliran darah melalui jantung misalnya stenosis katub semiluner, ketidakmampuan
jantung untuk mengisi darah misalnya tamponade pericardium, perikarditis
kontriktif dan stenosis katub AV, peningkatan mendadak afterload akibat
meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi “maligna”) dapat menyebabkan gagal
jantung tidak ada hipertropi miokardial.
5.
Factor sistemik, yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme
(misalnya demam, tirotoksikosis) hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan
curah jantung kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan
abnormalitas plektrolit dapat menurunkankontraktilitas jantung.
6.
Gangguan kontraktilitas (miokard infark/
miopati) yang mengganggufungsi miokard karena menyebabkan pengurangan
kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding abnormal dan mengubah daya
kembangruang jantung tersebut yang akhirnya menyebabkan penurunan curah
jantung.
7.
Gangguan Afterload (Stenosis Aorta/ Hipertensi
Sistemik) stenosis menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri keaorta pada
waktu sistolik ventrikel, yang menyebabkan beban ventrikel meningkat dan
akibatnya ventrikel kiri hipertropi yang mengurangi daya renggang dinding
ventrikel dan dinding relative menjadi kaku dan pada akhirnya dapat mengurangi
volume sekuncup dan menyebabkan gagal jantung, katub AV, peningkatan mendadak
afterload akibat meningkatnya tekanana darah sistemik dapat menyebabkan gagal
jantung tidak ada hipotrofi miokardial.
8.
Factor sistemik, yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme
(misalnya demam, tiroktositas) hipoksia, dan anemia juga dapat menurunkan
suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan
abnormalitas plektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
B. Patofisiologi
Kelainan fungi otot jantung disebabkan karena
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau
inflamasi. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan
afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat
dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas
jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak
dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan
secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventriel
kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah
ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
C. Klasifikasi
1.
Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel
gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti
pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral
2.
Gagal jantung kanan, disebabkan peningkatan
tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga
cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di kaki, asites,
hepatomegali, efusi pleura, dll.
Gagal jantung kiri Kongesti paru menonjol pada gagal
ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang
dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan
terdorong ke jaringan paru. Dispnu dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam
alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah
jantung yang kurang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya
energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress
pernapasan dan batuk.
Gagal jantung kanan Bila ventrikel kanan gagal, yang
menonjol adalah kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena
sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat
sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali
dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema
ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher,
asites, anoreksia, mual dan nokturia.
D. Menifestasi klinik
1.
Gejala yang muncul sesuai dengan gagal jantung
kiri diikuti oleh gagal jantung kanan dapat terjadi didada akibat adanya
peningkatan kebutuhan oksigen.
2.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya
tanda-tanda gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising
aikbat regurgitasi mitral
3.
Gagal jantung kiri
a.
Dyspneu
b.
Orthopneu
c.
Paroxysmal nokturnal dyspnea
d.
Batuk
e.
Mudah lelah
f.
Gelisah dan cemas
4.
Gagal jantung kanan
a.
Pitting edema
b.
Anoreksia
c.
Hapatomegali
d.
Nokturia
e.
Kelemahan
E. Komplikasi
1.
Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan
vena karena stasis darah
2.
Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata
3.
Toksisitas digitalis akibat pemakaian
obat-obatan digitalis.
F.
PENATALAKSANAAN
MEDIK
1. Terapi
Non-Farmakologis
Anjuran
umum
a.
Edukasi : terangkan hubungan keluhan,
gejala dengan pengobatan
b.
Aktivitas sosial dan pekerjaan
diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa sesuai kemampuan fisik
c.
Gagal jantung berat harus menghindari
penerbangan panjang
Tindakan
umum
a.
Diet rendah garam
b.
Hentikan rokok
c.
Aktivitas fisik
d.
Istirahat baring pada gagal jantung
akut, berat, dan eksaserbasi akut
2. Terapi
Farmakologis
a.
Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan
kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan
yaitu berupa peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume
darah, dan peningkatan diurisi dan mengurangi edema. Contoh Obat : Digoxin.
·
Digoxin memiliki efek inotropik positif (bekerja meningkatkan
kontraksi otot jantung) pada irama sinus dan menyebabkan perbaikan simptomatis
serta menurunkan tingkat perwatan di rumah sakit walaupun tidak mempengaruhi
tingkat mortilitas.
·
Penghambat Fosfodiesterase, Hambatan
enzim ini menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard
yang akan meningkatan kadar kalsium intrasel, ex : Mirinon dan Amirinon
b.
Diuretik
Dasar untuk terapi
simptomatik. Dosisnya harus cukup besar untuk menghilangkan edema paru dan/atau
perifer. Efek samping utama adalah hipokalemia ( berikan suplemen K+ atau
diuretik hemat kalium seperti amilorid). Contoh obat yaitu Spironolakton, suatu
diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada CHF
berat.
c.
Inhibitor ACE
Menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, memotong respon neuroendokrin maladaptif,
menimbulkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Obat ini dapat memicu
gagal ginjal pada stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping lain :
batuk kering persisten
d.
Antagonis Reseptor Angiotensin II
Losartan berfungsi untuk
menghambat angiotensin II dengan antagonisme langsung terhadap reseptornya.
Efek dan manfaatnya sama seperti inhibitor ACE.
e.
β-Bloker
β-Bloker diberikan hanya pada pasien
yang stabil, dengan dosis sangat rendah, dinaikkan bertahap. Menurunkan
kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia. Contoh obat yaitu,
Bisoprolol, Metoprolol, Karvedilol
f.
Kombinasi Hidralazin dengan Isosorbid
Dinitrat digunakan untuk pasien yang intoleran dengan inhibitor ACE
g.
Terapi Umum
Obati penyebab yang mendasari dan aritmia
bila ada. Kurangi asupan garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat
badan setiap hari. Obati faktor resiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
G.
PENYAKIT PENYERTA
1.
EDEMA
Edema adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan dalam
jaringan-jaringan tubuh. Edema paling umum terjadi pada feet (tungkai-tungkai)
dan legs (kaki-kaki), dimana ia dirujuk sebagai peripheral edema. Pembengkakan
adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan dibawah kulit dalam
ruang-ruang didalam jaringan-jaringan. Semua jaringan-jaringan dari tubuh
terbentuk dari sel-sel dan connective tissues (jaringan-jaringan penghubung)
yang menjaga kesatuan dari sel-sel. Jaringan penghubung sekitar sel-sel dan
pembuluh-pembuluh darah dikenal sebagai interstitium. Kebanyakan dari
cairan-cairan tubuh yang ditemukan diluar sel-sel normalnya disimpan dalam dua
ruang-ruang; pembuluh-pembuluh darah (sebagai bagian yang cair atau serum dari
darah anda) dan ruang-ruang interstitial (tidak dalam sel-sel). Pada berbagai
penyakit-penyakit, cairan yang berlebihan dapat berakumulasi dalam satu atau
dua dari bagian-bagian ruangan (kompartemen) ini.
Secara Sederhana, edema dapat diartikan sebagai pembengkakan jaringan subkutan, yang apabila ditekan akan meninggalkan cekungan (seperti sumur). Kulit yang terkena edema, biasanya tampak mengkilat dan pucat.
Secara Sederhana, edema dapat diartikan sebagai pembengkakan jaringan subkutan, yang apabila ditekan akan meninggalkan cekungan (seperti sumur). Kulit yang terkena edema, biasanya tampak mengkilat dan pucat.
Organ tubuh mempunyai ruang-ruang interstitial dimana cairan dapat
berakumulasi. Akumulasi cairan dalam ruang-ruang udara interstitial (alveoli)
dalam paru-paru terjadi pada penyakit yang disebut pulmonary edema. Sebagai
tambahan, kelebihan cairan adakalanya berkumpul dalam apa yang disebut ruang
ketiga, yang termasuk rongga-ronga dalam perut (rongga perut atau peritoneal -
disebut "ascites") atau di dada (rongga paru atau pleural - disebut
"pleural effusion"). Anasarca merujuk pada akumulasi cairan yang
parah yang tersebar luas dalam semua jaringan-jaringan dan rongga-rongga tubuh
pada saat yang bersamaan
Hubungan
antara Gagal jantung dengan kejadian Edema
Gagal jantung adalah akibat dari fungsi jantung yang buruk
dan dicerminkan oleh berkurangnya volume darah yang dipompa keluar oleh
jantung, yang disebut cardiac output. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
kelemahan dari otot jantung, yang memompa darah keluar melalui arteri-arteri ke
selurh tubuh, atau oleh disfungsi dari klep-klep jantung, yang mengatur aliran
darah antara kamar-kamar (bilik-bilik) jantung. Volume yang berkurang dari
darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output yang berkurang)
bertanggung jawab untuk aliran darah yang berkurang ke ginjal-ginjal. Sebagai
akibatnya, ginjal-ginjal merasakan bahwa ada pengurangan dari volume darah
dalam tubuh. Untuk melawan nampaknya kehilangan cairan, ginjal-ginjal menahan
garam dan air. Pada kejadian ini, ginjal-ginjal dibohongi kedalam pemikiran
bahwa tubuh perlu untuk menahan lebih banyak volume cairan ketika,
kenyataannya, tubuh telah menahan terlalu banyak cairan.
Peningkatan cairan ini akhirnya berakibat pada penumpukan
cairan didalam paru-paru, yang menyebabkan sesak napas. Karena berkurangnya
volume darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output yang berkurang),
volume darah dalam arteri-arteri juga berkurang, meskipun ada peningkatan yang
nyata dalam total volume cairan tubuh. Peningkatan yang berhubungan dalam jumlah
cairan dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru menyebabkan sesak napas
karena cairan yang berlebihan dari pembuluh-pembuluh darah paru-paru bocor
kedalam ruang-ruang udara (alveoli) dan interstitium pada paru-paru. Akumulasi
cairan dalam paru-paru ini disebut pulmonary edema. Pada saat yang bersamaan,
akumulasi cairan pada kaki-kaki (legs) menyebabkan pitting edema. Edema ini
terjadi karena penumpukan dari darah pada vena-vena dari kaki-kaki (legs)
menyebabkan kebocoran cairan dari kapialer-kapiler kaki-kaki (pembuluh-pembuluh
darah kecil) kedalam ruang-ruang interstitial.
Jantung mempunyai empat kamar-kamar dan ventrikel pada sisi kiri dan kanan
jantung. Atrium kiri menerima darah yang beroksigen dari paru-paru dan
mengirimnya ke ventrikel kiri, yang kemudian memompanya melalui arteri-arteri
ke seluruh tubuh. Darah kemudian diangkut balik ke jantung oleh vena-vena
kedalam Atrium kanan dan dikirim ke ventrikel kanan, yang kemudian memompanya
ke paru-paru untuk diberi oksigen kembali.
Gagal jantung sisi kiri, yang disebabkan terutama oleh ventrikel
kiri yang lemah, biasanya disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi,
atau penyakit klep-klep jantung. Secara khas, ketika pasien-pasien ini awalnya
datang pada dokter mereka disulitkan oleh sesak napas dengan pengerahan tenaga
dan ketika berbaring pada malam hari (orthopnea). Gejala-gejala ini disebabkan
oleh pulmonary edema yang disebabkan oleh berkumpulnya darah pada
pembuluh-pembuluh dari paru-paru.
Berlawanan dengannya, gagal jantung sisi kanan, yang
seringkali disebabkan oleh penyakit paru yang kronis seperti emphysema, awalnya
menyebakan penahanan garam dan edema. Penahanan garam yang gigih pada
pasien-pasien ini, bagaimanapun, mungkin menjurus pada volume darah yang
membesar dalam pembuluh-pembuluh darah, dengan demikian menyebabkan akumulasi
cairan pada paru-paru (pulmonary congestion) dan sesak napas.
2.
SLE (Systemic Lupus Erithematosus)
a.
Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi
yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan
prognosis yang sangat beragam.
Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam
patofisiologi SLE.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum
terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE
dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara
di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total
pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan
system imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama
10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar
48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan
neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang
dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan
lesi subkutaneus akut 6,7%.
b.
Tingkatan
penyakit SLE (Systemic Lupus Erithematosus).
Seringkali
terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang
akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil
berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat
keparahan SLE. Adapun beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan
tingkatan SLE yang diderita. Yaitu
1)
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a)
Secara
klinis tenang
b)
Tidak
terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c)
Fungsi
organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis
dan kulit.
2)
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang
manakala ditemukan:
a)
Nefritis
ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b)
Trombositopenia
(trombosit 20-50x103/mm3)
c)
Serositis
mayor
3)
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila
ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a)
Jantung:
endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b)
Paru-paru:
hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c)
Gastrointestinal:
pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d)
Ginjal:
nefritis proliferatif dan atau membranous.
e)
Kulit:
vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f)
Neurologi:
kejang, acute
confusional state, koma,
stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g)
Hematologi:
anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia <
20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
c.
Pengobatan
SLE
Baik
untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. adapun
alogaritma pengobatan pada pasien SLE yaitu :
|
Parameter Penyakit /
Tanggal
|
Nilai Normal
|
27/8
|
28/8
|
29/8
|
30/8
|
31/8
|
1/8
|
Tekanan Darah (mm Hg)
|
90/60-140/90
|
140/100
|
130/80
|
120/90
|
|
120/80
|
120/80
|
|
Nadi (kali per menit)
|
60-100
|
88
|
80
|
90
|
|
82
|
80
|
|
Suhu Badan (oC)
|
36,8±0,7
|
36,0
|
36
|
36
|
|
36,0
|
36
|
|
Respirasi (kali per menit)
|
16-24
|
20
|
20
|
22
|
|
20
|
16
|
|
|
Udem Anasarka
|
|
+++
|
++
|
+
|
+
|
-
|
-
|
Sesak
|
|
++
|
++
|
+
|
+
|
-
|
-
|
|
Kulit Hitam
|
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
|
Lemas
|
|
++
|
++
|
+
|
+
|
-
|
-
|
|
Perut
Membesar / Asites
|
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
|
Menggigil
|
|
|
|
|
|
|
+
|
|
|
Laboratorium Rutin / Tanggal
|
Nilai Normal
|
27/8
|
28/8
|
29/8
|
30/8
|
31/8
|
1/8
|
Hb
|
11,5-13,5
|
13,7
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Leukosit
|
4500-14500
|
20880
|
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Albumin
|
3,4-5,0
|
1,47
|
1,71
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Kolesterol
|
|
-
|
-
|
458
|
-
|
-
|
-
|
|
Trigliserida
|
|
-
|
-
|
509
|
-
|
-
|
-
|
|
HDL
|
40-60 mg/dl
|
-
|
-
|
34,8
|
-
|
-
|
-
|
|
LDL
|
100-129 mg/dl
|
-
|
-
|
276,0
|
|
|
|
|
ClCr
|
0,8 - 1,3 mg/dl
|
0,93
|
|
|
|
|
|
|
Total Protein
|
6,4 - 8,2 g/dl
|
3,05
|
|
|
|
|
|
|
Trombosit
|
156.000 – 454.000 /uL
|
56.000
|
|
|
|
|
|
|
|
Terapi (Nama Obat, Kekuataan)
|
Aturan Pakai
|
27/8
|
28/8
|
29/8
|
30/8
|
31/8
|
1/8
|
Furosemid
|
3 x 2 Ampul
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Furosemid
|
1 x 2 ampul
|
|
|
|
|
|
√
|
|
Ceftriaxon
|
1 g / 12 Jam
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
Metil Prednisolon
|
3 x 62,5 mg
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Perubahan Dosis
|
||
Metil Prednisolon
|
2 x 62,5 mg
|
-
|
-
|
-
|
-
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Captopril
|
1 x 6,25 mg
|
|
√
|
√
|
Perubahan dosis
|
||
Captopril
|
3 x 6,25 mg
|
|
|
|
√
|
√
|
√
|
|
Simvastatin
|
1 x 20 mg
|
|
|
|
|
|
√
|
|
Metil Prednisolon
|
1 x 16 mg
|
|
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
D5
|
8 tpm
|
√
|
√
|
√
|
-
|
-
|
-
|
Albumin 20%
|
100 ml
|
√
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Hasil Analisis Kasus
xxx---xxx
DAFTAR
PUSTAKA
American College of Rheumatology Ad Hoc
Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum
1999;42(9):1785-96
Dipiro, J. T., Talbert, R. L.,
Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Edition, McGrawHill, USA.
Koda-kimble; Young Y.L; Brian
K.A; Robin L.C; B. Joseph; Wayne A.K; Bradley; 2013. Apllied
Therapeutics, The Clinical use of Drugs. Tenth Edition
Rekomendasi
Perhimpunan Rematologi Indonesia., Diagnosis dan Pengelolaan Sistemik Lupus
Eritematosus, Diterbitkan oleh :Perhimpunan Reumatologi Indonesia,Jakarta.
2011
Ronny dkk.
2009.Fisiologi Kardiovaskuler. Jakarta:EGC
Wallace,
D.J, 2008, Lupus Essential Clinicians Guide. New York. Oxford University
Press