Senin, 24 April 2017

LAPORAN PEMBELAJARAN KLINIK
CONGESTIVE HEART FAILURE, SUSP SLE DAN ASITES EDEMA

PENDAHULUAN
Saat ini Congestive Hearth Failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal jantung kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler yang terus meningkat insiden dan prevalensinya. Risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, gagal jantung merupakan penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit (readmission) meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal (R. Miftah Suryadipraja).
CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh (Ebbersole, Hess, 1998). Risiko CHF akan meningkat pada orang lanjut usia (lansia) karena penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik apabila disertai dengan penyakit-penyakit seperti: hipertensi, penyakit katub jantung, kardiomiopati, dan lain-lain. CHF juga dapat menjadi kondisi akut dan berkembang secara tiba-tiba pada miokard infark. CHF merupakan penyebab tersering lansia dirawat di rumah sakit (Miller,1997). Sekitar 3000 penduduk Amerika menderita CHF. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia 50 tahun, Insiden ini akan terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50 tahun (Aronow et al,1998). Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang dididiagnosis CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Ebbersole, Hess,1998).
A.      Definisi
Ada beberapa pengertian CHF menurut beberapa ahli:
1.       Gagal jantung kongestif (CHF) adalah sindroma yang terjadi bila jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic dan oksigenasi jantung. (Carpenito, 1999)
2.       Pengertian gagal jantung secara umum adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagalmemompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. (Ilmu penyakit dalam. 1996 h, 975)
3. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. (Smeltzer & Bare Vol 2, hal 805 th 2001) 
A.      Etiologi
Penyebab CHF ada beberapa factor yang sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas pada jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung meliputi:
1.       Penyakit arterosklerosis koroner yang mengakibatkan disfungsi pada miokardium karena terganggunya aliran darah pada otot jantung.
2.       Hipertensi sistemik/ pulmonal yang mengakibatkan meningkatnya beban kerja jantung yang akhirnya mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung.
3.       Peradangan dan penyakitMiokardium degenaratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara tidak langsung merusak serabut otot jantung dan menyebabkan kontraksi menurun.
4.       Penyakit jantung lain, yang sebenarnya tidak ada secara langsung mempengaruhi jantung, mekanisme yang terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung misalnya stenosis katub semiluner, ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah misalnya tamponade pericardium, perikarditis kontriktif dan stenosis katub AV, peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi “maligna”) dapat menyebabkan gagal jantung tidak ada hipertropi miokardial.
5.       Factor sistemik, yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tirotoksikosis) hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas plektrolit dapat menurunkankontraktilitas jantung.
6.       Gangguan kontraktilitas (miokard infark/ miopati) yang mengganggufungsi miokard karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding abnormal dan mengubah daya kembangruang jantung tersebut yang akhirnya menyebabkan penurunan curah jantung.
7.       Gangguan Afterload (Stenosis Aorta/ Hipertensi Sistemik) stenosis menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri keaorta pada waktu sistolik ventrikel, yang menyebabkan beban ventrikel meningkat dan akibatnya ventrikel kiri hipertropi yang mengurangi daya renggang dinding ventrikel dan dinding relative menjadi kaku dan pada akhirnya dapat mengurangi volume sekuncup dan menyebabkan gagal jantung, katub AV, peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanana darah sistemik dapat menyebabkan gagal jantung tidak ada hipotrofi miokardial.
8.       Factor sistemik, yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tiroktositas) hipoksia, dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas plektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
B.      Patofisiologi
Kelainan fungi otot jantung disebabkan karena aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventriel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
C.      Klasifikasi
1.       Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral
2.       Gagal jantung kanan, disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll.
Gagal jantung kiri Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Dispnu dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.
Gagal jantung kanan Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites, anoreksia, mual dan nokturia.
D.      Menifestasi klinik
1.       Gejala yang muncul sesuai dengan gagal jantung kiri diikuti oleh gagal jantung kanan dapat terjadi didada akibat adanya peningkatan kebutuhan oksigen.
2.       Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya tanda-tanda gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising aikbat regurgitasi mitral
3.       Gagal jantung kiri
a.       Dyspneu
b.      Orthopneu
c.       Paroxysmal nokturnal dyspnea
d.      Batuk
e.      Mudah lelah
f.        Gelisah dan cemas
4.       Gagal jantung kanan
a.       Pitting edema
b.      Anoreksia
c.       Hapatomegali
d.      Nokturia
e.      Kelemahan
E.       Komplikasi
1.       Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah
2.       Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata
3.       Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
F.       PENATALAKSANAAN MEDIK
1.       Terapi Non-Farmakologis
Anjuran umum
a.       Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
b.      Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa sesuai  kemampuan fisik
c.       Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
Tindakan umum
a.       Diet rendah garam
b.      Hentikan rokok
c.       Aktivitas fisik
d.      Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat, dan eksaserbasi akut
2.       Terapi Farmakologis
a.       Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan yaitu berupa peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah, dan peningkatan diurisi dan mengurangi edema. Contoh Obat : Digoxin.
·         Digoxin memiliki efek inotropik positif (bekerja meningkatkan kontraksi otot jantung) pada irama sinus dan menyebabkan perbaikan simptomatis serta menurunkan tingkat perwatan di rumah sakit walaupun tidak mempengaruhi tingkat mortilitas.
·         Penghambat Fosfodiesterase, Hambatan enzim ini menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatan kadar kalsium intrasel, ex : Mirinon dan Amirinon
b.      Diuretik
Dasar untuk terapi simptomatik. Dosisnya harus cukup besar untuk menghilangkan edema paru dan/atau perifer. Efek samping utama adalah hipokalemia ( berikan suplemen K+ atau diuretik hemat kalium seperti amilorid). Contoh obat yaitu Spironolakton, suatu diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada CHF berat.
c.       Inhibitor ACE
Menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memotong respon neuroendokrin maladaptif, menimbulkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Obat ini dapat memicu gagal ginjal pada stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping lain  : batuk kering persisten
d.      Antagonis Reseptor Angiotensin II
Losartan berfungsi untuk menghambat angiotensin II dengan antagonisme langsung terhadap reseptornya. Efek dan manfaatnya sama seperti inhibitor ACE.
e.      β-Bloker
β-Bloker diberikan hanya pada pasien yang stabil, dengan dosis sangat rendah, dinaikkan bertahap. Menurunkan kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia. Contoh obat yaitu, Bisoprolol, Metoprolol, Karvedilol
f.        Kombinasi Hidralazin dengan Isosorbid Dinitrat digunakan untuk pasien yang intoleran dengan inhibitor ACE
g.       Terapi Umum
Obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada. Kurangi asupan garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat badan setiap hari. Obati faktor resiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
G.     PENYAKIT PENYERTA
1.       EDEMA
Edema adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan dalam jaringan-jaringan tubuh. Edema paling umum terjadi pada feet (tungkai-tungkai) dan legs (kaki-kaki), dimana ia dirujuk sebagai peripheral edema. Pembengkakan adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan dibawah kulit dalam ruang-ruang didalam jaringan-jaringan. Semua jaringan-jaringan dari tubuh terbentuk dari sel-sel dan connective tissues (jaringan-jaringan penghubung) yang menjaga kesatuan dari sel-sel. Jaringan penghubung sekitar sel-sel dan pembuluh-pembuluh darah dikenal sebagai interstitium. Kebanyakan dari cairan-cairan tubuh yang ditemukan diluar sel-sel normalnya disimpan dalam dua ruang-ruang; pembuluh-pembuluh darah (sebagai bagian yang cair atau serum dari darah anda) dan ruang-ruang interstitial (tidak dalam sel-sel). Pada berbagai penyakit-penyakit, cairan yang berlebihan dapat berakumulasi dalam satu atau dua dari bagian-bagian ruangan (kompartemen) ini.
Secara Sederhana, edema dapat diartikan sebagai pembengkakan jaringan subkutan, yang apabila ditekan akan meninggalkan cekungan (seperti sumur). Kulit yang terkena edema, biasanya tampak mengkilat dan pucat.
Organ tubuh mempunyai ruang-ruang interstitial dimana cairan dapat berakumulasi. Akumulasi cairan dalam ruang-ruang udara interstitial (alveoli) dalam paru-paru terjadi pada penyakit yang disebut pulmonary edema. Sebagai tambahan, kelebihan cairan adakalanya berkumpul dalam apa yang disebut ruang ketiga, yang termasuk rongga-ronga dalam perut (rongga perut atau peritoneal - disebut "ascites") atau di dada (rongga paru atau pleural - disebut "pleural effusion"). Anasarca merujuk pada akumulasi cairan yang parah yang tersebar luas dalam semua jaringan-jaringan dan rongga-rongga tubuh pada saat yang bersamaan
Hubungan antara Gagal jantung dengan kejadian Edema
Gagal jantung adalah akibat dari fungsi jantung yang buruk dan dicerminkan oleh berkurangnya volume darah yang dipompa keluar oleh jantung, yang disebut cardiac output. Gagal jantung dapat disebabkan oleh kelemahan dari otot jantung, yang memompa darah keluar melalui arteri-arteri ke selurh tubuh, atau oleh disfungsi dari klep-klep jantung, yang mengatur aliran darah antara kamar-kamar (bilik-bilik) jantung. Volume yang berkurang dari darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output yang berkurang) bertanggung jawab untuk aliran darah yang berkurang ke ginjal-ginjal. Sebagai akibatnya, ginjal-ginjal merasakan bahwa ada pengurangan dari volume darah dalam tubuh. Untuk melawan nampaknya kehilangan cairan, ginjal-ginjal menahan garam dan air. Pada kejadian ini, ginjal-ginjal dibohongi kedalam pemikiran bahwa tubuh perlu untuk menahan lebih banyak volume cairan ketika, kenyataannya, tubuh telah menahan terlalu banyak cairan.
Peningkatan cairan ini akhirnya berakibat pada penumpukan cairan didalam paru-paru, yang menyebabkan sesak napas. Karena berkurangnya volume darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output yang berkurang), volume darah dalam arteri-arteri juga berkurang, meskipun ada peningkatan yang nyata dalam total volume cairan tubuh. Peningkatan yang berhubungan dalam jumlah cairan dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru menyebabkan sesak napas karena cairan yang berlebihan dari pembuluh-pembuluh darah paru-paru bocor kedalam ruang-ruang udara (alveoli) dan interstitium pada paru-paru. Akumulasi cairan dalam paru-paru ini disebut pulmonary edema. Pada saat yang bersamaan, akumulasi cairan pada kaki-kaki (legs) menyebabkan pitting edema. Edema ini terjadi karena penumpukan dari darah pada vena-vena dari kaki-kaki (legs) menyebabkan kebocoran cairan dari kapialer-kapiler kaki-kaki (pembuluh-pembuluh darah kecil) kedalam ruang-ruang interstitial.
Jantung mempunyai empat kamar-kamar  dan ventrikel pada sisi kiri dan kanan jantung. Atrium kiri menerima darah yang beroksigen dari paru-paru dan mengirimnya ke ventrikel kiri, yang kemudian memompanya melalui arteri-arteri ke seluruh tubuh. Darah kemudian diangkut balik ke jantung oleh vena-vena kedalam Atrium kanan dan dikirim ke ventrikel kanan, yang kemudian memompanya ke paru-paru untuk diberi oksigen kembali.
Gagal jantung sisi kiri, yang disebabkan terutama oleh ventrikel kiri yang lemah, biasanya disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, atau penyakit klep-klep jantung. Secara khas, ketika pasien-pasien ini awalnya datang pada dokter mereka disulitkan oleh sesak napas dengan pengerahan tenaga dan ketika berbaring pada malam hari (orthopnea). Gejala-gejala ini disebabkan oleh pulmonary edema yang disebabkan oleh berkumpulnya darah pada pembuluh-pembuluh dari paru-paru.
Berlawanan dengannya, gagal jantung sisi kanan, yang seringkali disebabkan oleh penyakit paru yang kronis seperti emphysema, awalnya menyebakan penahanan garam dan edema. Penahanan garam yang gigih pada pasien-pasien ini, bagaimanapun, mungkin menjurus pada volume darah yang membesar dalam pembuluh-pembuluh darah, dengan demikian menyebabkan akumulasi cairan pada paru-paru (pulmonary congestion) dan sesak napas.
2.       SLE (Systemic Lupus Erithematosus)
a.       Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan system imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.
b.      Tingkatan penyakit SLE (Systemic Lupus Erithematosus).
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Adapun beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkatan SLE yang diderita. Yaitu
1)      Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a)      Secara klinis tenang
b)      Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c)       Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2)      Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
a)      Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b)      Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c)       Serositis mayor
3)      Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a)      Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b)      Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,  ibrosis interstisial, shrinking lung.
c)       Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d)      Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e)      Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f)       Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g)      Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
c.       Pengobatan SLE
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. adapun alogaritma pengobatan pada pasien SLE yaitu :
Algoritma pengobatan SLE (Perhimpunan Reumatoligi Indonesia, 2011)



CONTOH KASUS

Pasien : XX
Tgl lahir/Umur : 23
BB : kg;   TB : ............. cm; Kamar : kamar 5 bed 1
RPM : Bengkak seluruh tubuh ± sejak 2 bulan semakin lama semakin bengkak, nyeri kepala.
RPD : SLE sejak 2 tahun. DPJP :
Diagnosis :CHF anemia, Susp SLE, asites, Edema. Merokok : 1 bungkus/hr, Alergi : -
Parameter Penyakit  /  Tanggal
Nilai Normal
27/8
28/8
29/8
30/8
31/8
1/8
Tekanan Darah (mm Hg)
90/60-140/90
140/100
130/80
120/90

120/80
120/80
Nadi (kali per menit)
60-100
88
80
90

82
80
Suhu Badan (oC)
36,8±0,7
36,0
36
36

36,0
36
Respirasi (kali per menit)
16-24
20
20
22

20
16
Udem Anasarka

+++
++
+
+
-
-
Sesak

++
++
+
+
-
-
Kulit Hitam

+
+
+
+
+
+
Lemas

++
++
+
+
-
-
Perut Membesar / Asites

+
+
+
+
+
+
Menggigil






+
Laboratorium Rutin / Tanggal
Nilai Normal
27/8
28/8
29/8
30/8
31/8
1/8
Hb
11,5-13,5
13,7
-
-
-
-
-
Leukosit
4500-14500
20880

-
-
-
-
Albumin
3,4-5,0
1,47
1,71
-
-
-
-
Kolesterol

-
-
458
-
-
-
Trigliserida

-
-
509
-
-
-
HDL
40-60 mg/dl
-
-
34,8
-
-
-
LDL
100-129 mg/dl
-
-
276,0



ClCr
0,8 - 1,3 mg/dl
0,93





Total Protein
6,4 - 8,2 g/dl
3,05





Trombosit
156.000 – 454.000 /uL
56.000





Terapi (Nama Obat, Kekuataan)
Aturan Pakai
27/8
28/8
29/8
30/8
31/8
1/8
Furosemid
3 x 2 Ampul

Furosemid
1 x 2 ampul





Ceftriaxon
1 g / 12 Jam
Metil Prednisolon
3 x 62,5 mg
Perubahan Dosis
Metil Prednisolon
2 x 62,5 mg
-
-
-
-

















Captopril
1 x 6,25 mg

Perubahan dosis
Captopril
3 x 6,25 mg



Simvastatin
1 x 20 mg





Metil Prednisolon
1 x 16 mg













D5
8 tpm
-
-
-
Albumin 20%
100 ml
-
-
-
-
-









Hasil Analisis Kasus
xxx---xxx


DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,  7th Edition, McGrawHill, USA.

Koda-kimble; Young Y.L; Brian K.A; Robin L.C; B. Joseph; Wayne A.K; Bradley; 2013. Apllied Therapeutics, The Clinical use of Drugs. Tenth Edition

Rekomendasi Perhimpunan Rematologi Indonesia., Diagnosis dan Pengelolaan Sistemik Lupus Eritematosus, Diterbitkan oleh :Perhimpunan Reumatologi Indonesia,Jakarta. 2011

Ronny dkk. 2009.Fisiologi Kardiovaskuler. Jakarta:EGC

Wallace, D.J, 2008, Lupus Essential Clinicians Guide. New York. Oxford University Press